SELAMAT DATANG DI SITUS FADLY AL ANSYARI'S, SILAKAN BACA MOGA BERMANFA'AT, MOHON DI BERI KRITIK DAN SARAN UNTUK KEMAJUAN BLOG INI

6.25.2009

Solusi Masalah Harddisk 2: Windows Rusak Parah


Kasus seputar harddisk yang sering terjadi adalah Windows di dalam harddisk tersebut rusak parah sehingga kita tidak bisa masuk ke dalamnya. Simak kiat mengatasinya
Kasus seputar harddisk yang sering terjadi adalah Windows di dalam harddisk tersebut rusak parah sehingga kita tidak bisa masuk ke dalamnya. Pada kasus seperti ini, satu-satunya solusi adalah melakukan instalasi ulang Windows. Masalahnya, sering kali di dalam harddisk atau partisi berisi Windows tersebut masih terdapat berbagai file penting yang harus diselamatkan. Lalu, bagaimana mengambilnya?

Gunakan aplikasi yang bootable dan bisa menjelajah (browse) file di harddisk yang bermasalah tersebut. Lagi-lagi, Anda bisa menggunakan Rescue Disk 9.0 Express yang kami bahas di bagian pertama artikel bersambung ini. Penggunaannya sangat mudah, Anda cukup mengikuti wisaya (wizard) dari menu File Transfer Wizard. Sayangnya, versi gratisan ini tidak bisa memindahkan file-file tersebut ke CD/DVD. Jadi, Anda harus menyalin file-file tersebut ke flashdisk atau harddisk eksternal.

Namun Rescue Disk Express cuma bisa bekerja dari CD. Jika Anda lebih memilih proses dari flashdisk, gunakan sistem operasi Linux portabel yang bisa booting melalui flashdisk (live-USB). Hampir semua distro Linux memiliki versi portabel, namun perlu dicatat kalau proses mounting (pengenalan isi harddisk) sering kali harus dilakukan secara manual. Karena itu kami menyarankan penggunaan distro Puppy Linux karena distro ini melakukan proses mounting secara otomatis. Ukuran Puppy Linux juga cuma 100MB, sehingga muat di flashdisk ukuran kecil sekalipun.

Aplikasi Rescue Disk 9.0 Express dapat di-donwload secara gratis di sini (46MB), sementara Puppy Linux bisa Anda dapatkan di sini (100MB). Jika tidak ingin repot men-download, kedua aplikasi tersebut tersedia di DVD InfoKomputer edisi Juni 2009.

Baca Selengkapnya.... »»

Solusi Masalah Harddisk 1: Mengatasi MBR Rusak


MBR menjadi penanda keberadaan harddisk. Jika dianalogikan,MBR ini seperti peta yang menuntun BIOS menemukan harddisk. Simak ulasannya berikut ini
Di dalam harddisk, ada sebuah file yang disebut MBR (Master Boot Record). File ini berada di byte pertama dan sektor pertama harddisk; pokoknya benar-benar pertama. Maklum, MBR inilah yang menjadi penanda keberadaan harddisk. Jika dianalogikan, MBR ini seperti peta yang menuntun BIOS menemukan harddisk.

Namun berbagai hal bisa menyebabkan MBR tersebut rusak, seperti terkena virus atau terformat tidak sengaja. Jika itu terjadi, sistem operasi pun kehilangan penunjuk jalan yang ditandai dengan munculnya pesan Operating System not found atau missing operating system di layar.

Solusi dari masalah ini adalah dengan mengembalikan file MBR tersebut. Cara paling umum dilakukan adalah melakukan proses recovery dari CD Windows. Caranya, booting ke CD Windows, lalu pilih Repair (dengan menekan tombol R) dan masuk ke Recovery Console. Setelah itu, ketikkan perintah fixmbr untuk mengembalikan file MBR tersebut.

Untuk Windows Vista, konsepnya sama meski prosedurnya sedikit berbeda. Pertama, booting ke DVD Windows Vista, lalu pilih Repair Your Computer. Ketika System Recovery Options muncul, pilih Command Prompt. Setelah muncul jendela Command Prompt, ketik bootrec.exe dan tekan Enter.

Jika CD Windows sudah hilang entah kemana, Anda bisa menggunakan aplikasi dari Rescue Kit 9.0 Express buatan Paragon. Ini adalah aplikasi gratisan yang memiliki fungsi beragam, termasuk mengembalikan MBR. Aplikasi ini bersifat bootable, artinya bisa di-burn ke CD dan menjadi sumber proses booting. Ketika sistem menunjukkan gejala kehilangan MBR, yang harus Anda lakukan adalah booting ke CD berisi Rescue Kit ini. Setelah itu, pilih menu Boot Corrector, ikuti prosedur yang telah ditentukan, dan kasus kehilangan MBR seharusnya telah teratasi.

Rescue Kit 9.0 Express bisa di-download secara gratis di sini (46MB) atau bisa Anda dapatkan di DVD InfoKomputer edisi Juni 2009.

Baca Selengkapnya.... »»

6.20.2009

Top 10 Virus Indonesia: Juni 2009

Yang bertengger di urutan pertama masih sama yakni Conficker, diikuti oleh Autoit dan FullHouse. Selain itu ada beberapa virus yang baru masuk ke peringkat sepuluh besar ini seperti Nhatquanglan dan Hotum.vbs. Untuk lebih jelasnya, silakan lihat daftar berikut ini:
1. Conficker

Virus luar berteknologi canggih ini memang menyebar luar biasa. Bentuknya yang merupakan file DLL (Dynamic Link Library) membedakannya dengan kebanyakan virus lain yang berupa EXE. Kemampuan yang dimilikinya juga bisa disetarakan dengan rootkit. Serta, sifatnya ber-polymorphic membuatnya memiliki tubuh yang berubah-ubah. Pada komputer terinfeksi, user tidak akan dapat membuka situs yang “berbau” antivirius atau Microsoft update. Virus ini juga aktif menyebar di Indonesia dengan menggunakan media removable disk misalkan flash disk. Pada flash disk terinfeksi, Anda akan menemukan file autorun.inf dan direktori RECYCLER yang di dalamnya terdapat sub-direktori dengan nama misalkan S-5-3-42-2819952290-8240758988-879315005-3665, dan pada direktori inilah terdapat file virus Conficker dengan nama biasanya jwgkvsq.vmx yang sebenarnya adalah file DLL.

2. Autoit


Hampir kebanyakan varian dari virus import berbasis script ini menggunakan icon mirip seperti folder. Virus ini memiliki kemampuan untuk melakukan auto update ke beberapa situs. Ia juga dapat memanfaatkan Yahoo! Messenger sebagai media perantara penyebarannya dengan mengirimkan pesan berisi link ke setiap contact person yang ada di Y!M korban.

3. FullHouse

Virus lokal yang satu ini dibuat menggunakan Visual Basic. Dalam aksinya, ia meng-extract gambar “Han ji eun”, salah satu tokoh dalam serial Full House. Salah satu file induknya ngumpet dalam folder RECYCLER, dan akan membuat file autorun.inf pada drive target untuk dapat running otomatis.

4. Recycler

Yang menjadi ciri khas dari virus ini adalah teknik bagaimana ia menyebar. Yakni “ngumpet” dalam direktori Recycler/Recycler/Recycle Bin. Ia juga diketahui menerapkan teknik code injection agar kode virus bisa “nyangkut” pada explorer.exe. Ini dilakukannya untuk mempersulit user maupun program antivirus sekalipun untuk membunuhnya.

5. Nhatquanglan

Virus import yang satu ini dibuat menggunakan Visual Basic. Dua varian yang baru kami temui berukuran 101KB dan 81KB, menggunakan icon mirip folder dalam penyamarannya. Salah satu ciri khasnya adalah memblok beberapa situs antivirus dengan memanipulasi file hosts.

6. Hotum.vbs

Satu lagi virus lokal jenis VBScript dikenal dengan nama Hotum.vbs. Memiliki ukuran sekitar 8KB. Ia akan aktif otomatis dengan mengganti registry userinit milik Windows serta membuat item run baru. Mudah mengenali komputer yang telah terinfeksi virus ini. Lihat pada informasi jam windows di pojok kanan bawah, waktu AM akan diganti menjadi “Hotum” sementara untuk PM diubah menjadi “Tombom”.

7. Risa

Virus lokal satu ini memiliki ukuran sekitar 42KB, dengan kondisi ter-pack menggunakan UPX. Icon yang dimiliki menyerupai folder. Saat komputer terinfeksi virus ini, akan banyak sekali ditemukan folder-folder tipuan di setiap penjuru drive. Ia juga dapat masuk ke flash disk, di flash disk akan terdapat beberapa file dengan nama seperti “Kumpulan Puisi cinta palsu.exe”, “Rahasia (Jangan dibuka).exe”, dan lainnya. Pesan dari pembuat virus pun dapat ditemukan dengan pada direktori Windows dengan nama “Wasiat.html”, atau pada root drive C:\ dengan nama “Puisi_untukmu_bang.html”.

8. LegendOfAang.vbs

Virus yang dibuat menggunakan VBScript ini hadir dalam kondisi terenkripsi. Pada gambar di atas Anda bisa melihat file virus yang dalam kondisi terenkripsi dan yang sudah di-decrypt. Ia memiliki ukuran sekitar 13KB. Saat beraksi, ia mencoba untuk menghapus file VBS yang kemungkinan ditujukan kepada virus lain. Pada removable disk terinfeksi juga akan terdapat file autorun.inf milik virus ini. Dan agar dapat running otomatis, ia mengubah item userinit di registry agar diarahkan kepada dirinya.

9. Astuty

Virus lokal satu ini memiliki pesan cinta yang disampaikan pada browser. File pesan bisa Anda temukan pada direktori Windows dengan nama Notic.htm. Ia menggunakan icon mirip dokumen MsWord dalam penyamarannya. Ukurannya sekitar 617KB, di-pack menggunakan UPX. Virus ini akan memalsukan file .DOC yang ia temukan, dengan cara menyembunyikan file .DOC yang asli dengan memberinya attribut hidden, lalu menggantikannya dengan file virus dengan nama file yang hampir sama.

10. Vanpraja

Virus lokal yang satu ini akan mengeluarkan beberapa file gambar dari dalam resources tubuhnya, salah satunya dengan nama “Hacked by v@nP.jpg” seperti yang terlihat di atas. File di extract ke beberapa root drive yang terdapat di komputer korban. Secara fisik, ia mirip dengan file dokumen MsWord, dengan ukuran file sekitar 96KB, dan di-pack menggunakan UPX. Ada-ada saja memang aksinya, si pembuat virus ini mempromosikan sekolahnya dengan cara menyebarkan file teks yang berisi promosi tersebut ke setiap root drive termasuk.

Baca Selengkapnya.... »»

Mencegah Virus dengan mematikan Autoplay Windows

Sekarang banyak virus-virus yang menyebar dengan memanfaatkan autoplay pada Windows. Virus ini antara lain recycler, geal-geol, boot.exe dan lain lain.
Untuk meminimalisasi virus yang menyebar lewat flash disk
, kita dapat mematikan autoplay pada windows XP. caranya adalah:

klik start >> run kemudian ketik gpedit.msc
maka akan muncul layar Group policy
pilih user configuration klik administrative templates, kemudian pilih system
kemudian cari turn off Autoplay Double klik pilih enable, dan pilih All drive kemudian OK. maka Fitur Autoplay pada Windows akan non aktif.

Baca Selengkapnya.... »»

Contreng atau Golput (Sebuah Panduan Syar’i)

Pembahasan tentang memilih atau tidak memiih hari ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kontroversi itu ada di dua sisi yang saling berseberangan. Tulisan ini tidak sedang membela salah satunya. Bukan juga ajakan untuk memilih atau golput.
Tulisan ini hadir justru dari keterpanggilan untuk mendudukkan masalah pada porsinya yang tepat dan benar. Mencotreng atau golput, dari kacamata syariat yang proporsional tanpa tendensi atau pragmatisme kepentingan.

Ini semua agar kita tidak menyesal. Karena penyesalan kita bisa sangat panjang. Sejak di dunia ini. Saat kita mendapat pemimpin yang jahat dan akhirnya hanya saling hujat saja dengan masyarakatnya, seperti dalam hadits Nabi, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim no. 1855 dan Ahmad no. 24027)

Atau penyesalan yang paling rugi saat nanti di akhirat, seperti gambaran ayat berikut,

وَبَرَزُواْ لِلّهِ جَمِيعًا فَقَالَ الضُّعَفَاء لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُواْ إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنتُم مُّغْنُونَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللّهِ مِن شَيْءٍ قَالُواْ لَوْ هَدَانَا اللّهُ لَهَدَيْنَاكُمْ سَوَاء عَلَيْنَآ أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِن مَّحِيصٍ ﴿٢١﴾

“Dan mereka semua (di padang Mahsyar) berkumpul untuk menghadap ke hadhirat Allah, lalu orang yang lemah berkata kepada orang yang sombong: Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut kalian, maka dapatkah kalian menghindarkan kami dari azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: Sekiranya Allah memberi petunjuk kepada kami niscaya kami memberi petunjuk kepada kalian. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh atau bersabar. Kita tidak punya tempat untuk melarikan diri.” (QS. Ibrahim/14: 21)

Sementara, semua yang kita lakukan kelak harus dipertanggungjawabkan. Sehingga kita harus benar-benar berhitung terhadap aktifitas sekecil apapun. Apalagi jika aktifitas kita adalah aktifitas yang menyentuh kepentingan dan hajat hidup orang banyak. Kesalahan yang kita lakukan pada wilayah umum seperti ini akan berhadapan dengan pertanggungjawaban yang tidak ringan di hari kiamat kelak. Memilih pemimpin adalah aktifitas yang masuk wilayah ini. Artinya, ketika kita masuk bilik suara untuk menyontreng, kita tidak hanya berhadapan dengan apa atau siapa. Tetapi kita sedang berhadapan dengan pengadilan Allah kelak.

Memilih pemimpin yang baik dan benar, artinya kita ikut urun rembug dalam kebaikan. Karena pemimpin yang baik dan benar akan menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Memilih pemimpin yang rusak dan tidak berkompeten, artinya kita ikut andil dalam kerusakan. Karena merekalah yang kelak mencekik rakyat, membuat kerusakan masal secara sistematis.

Maka kita layak berhitung, bahkan harus. Dengan cermat. Dan sangat cermat! Dan mari kita mulai berhitung.

Jika Harus Memilih

Pilihlah hanya pemimpin yang kita kenal. Jangan pernah menjadi orang yang hanya ikut bergerak kemana angin bertiup. Orang banyak boleh merekomendasikan, tetapi ukurlah dengan pengetahuan kita terhadap calon pemimpin itu.

Pertanyaannya adalah, apa yang harus kita kenali?

Jika hanya mengenal nama, tempat tinggal, daerah asal, ini bukanlah pengenalan yang mampu menghadirkan pemimpin yang baik dan benar. Pengenalan itu bercermin pada pengenalan Allah terhadap Nabi Yusuf (12: 55) yang menyebut dirinya (Hafidzun = yang sangat menjaga/amanah) ('Alim = mempunyai ilmu). Sebagaimana juga pengenalan Allah terhadap Nabi Musa yang berperan sebagai pekerja dan disebut dalam ayat (28:260) sebagai: (al-Qowiy = yang kuat) (al-Amin = yang amanah)

Dari dua contoh yang mencantumkan dua kata untuk satu Nabi bisa disimpulkan dengan dua kata berikut:

1. Integritas moral
2. Kompetensi

Integritas moral menjadi harga mati, walau ada di standar rendah tetapi tidak keluar dari frame minimal. Seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash yang keduanya masuk Islam terlambat; tahun 7 H, tetapi langsung diberikan amanah kepemimpinan perang bahkan hanya beberapa bulan setelah mereka masuk Islam. Mereka berdua orang yang berkompeten di medan perang. Adapun tingkat integritas moral dan keshalehannya, mereka berdua telah mencapai tingkat standar dasar seorang muslim.

Mereka berdua bukan orang fajir/pelaku dosa, sehingga di sini tidak berlaku pembahasan -yang sesungguhnya belum final- tentang pilihan rumit antara fajir qowiy (orang rusak yang kuat) dengan sholeh dhoif (orang shaleh yang lemah).

Untuk seorang pemimpin, integritas moral yang mudah diukur adalah hal yang berhubungan dengan orang banyak. Seperti kata amanah yang diulang-ulang dalam dua contoh di atas. Amanah adalah integritas moral yang sangat penting keberadaannya pada partai dan calon pemimpin. Rasul berulang kali menyampaikan pesan tentang hal ini agar diingat bahwa memilih pemimpin harus yang amanah.

Di antara haditsnya adalah, "Tidak ada seorang hamba yang diberikan amanah kepemimpinan, kemudian dia meninggal dan pada hari meninggalnya itu dia masih mempunyai kesalahan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya sorga!" (HR. Bukhari no. 6731 dan Muslim no. 142)

Di antara yang sangat diperhatikan dalam integritas moral adalah kelembutan hati. Dengarlah doa nabi berikut ini, "Ya Allah siapapun memimpin umatku dengan mempersulit, maka persulitlah dia. Dan siapa yang memimpin dengan kasih sayang/kelembutan, maka sayangilah dia.” (HR. Muslim no. 1828).

Ini sejalan dengan pujian Allah terhadap Nabinya,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ﴿١٥٩﴾

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs. Ali Imran: 159)

Kelembutan hati adalah modal penting untuk keputusan yang menggunakan hati dengan penuh empati kepada masyarakat yang dipimpinnya.

Dua contoh integritas moral ini bisa dilihat dari raportnya pada masa kepemimpinan partai/pemimpin itu sebelumnya, jika pernah memimpin. Jika belum pernah memimpin, maka bisa dibuka pada catatan masyarakat. Jika belum menjadi pemimpin saja, sudah arogan dan berhati kasar dalam muamalah maka kekuasaan kelak akan membuka peluang untuk arogansi yang lebih besar.

Kesholehan ternyata tidaklah cukup. Hanya disebut ustadz tidaklah cukup, Atau mendapat gelar al-Hafidz atau semua atribut simbol kesholehan. Karena Nabi saja pernah menolak Abu Dzar al-Ghifari. Padahal kesholehan Abu Dzar tidak diragukan sama sekali bahkan oleh Nabi sendiri. Penolakan Nabi terhadap Abu Dzar lebih karena Abu Dzar tidak mempunyai kompentensi dalam kepemimpinan, “Kamu jangan memimpin dua orang dan mengurusi harta anak yatim!” (HR. Muslim no. 1826).

Dari sini, jika kita harus memilih maka pilihlah pemimpin yang kita kenal integritas kesholehannya dan kompentensi kepemimpinannya.

Golput Mungkinkah?

Memilih partai/pemimpin bagian Dari Amar Ma'ruf Nahi Mungkar. Karena dengan memilih pemimpin yang tepat, kita berharap pemimpin itu akan mendatangkan ma’ruf (kebaikan) dan menghilangkan atau meminimalkan kemungkaran.

Perintah amar ma'ruf nahi mungkar merupakan hal yang tidak perlu panjang lebar kita bicarakan. Karena sudah gamblang dan terang. Khoiriyyah ummah (Umat ini disebut terbaik) jika dua hal ini masih ada dengan dilandasi oleh iman (Qs. Ali Imran: 110).

Mengingat negara ini perlu perbaikan yang luar biasa kalau tidak mau dikatakan perlu perombakan besar-besaran, maka memilih partai/pemimpin adalah bagian dari perbaikan besar negeri ini.

Melihat melalui kacamata amar ma'ruf nahi mungkar, maka keterlibatan kita dalam berpartisipasi di pemilu adalah amal yang amat penting dan bahkan harus.

Amar Ma'ruf Nahi Mungkar Ada Batasnya!

Amar ma'ruf nahi mungkar yang artinya iku memilih dalam Pemilu, harus dihentikan alias harus golput sebagaimana dalam ayat dalam surat al-Maidah: 105,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿١٠٥﴾

"Hai orang-orang yang beriman, urusilah dirimu sendiri; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”

Ayat ini pernah disalahpahami oleh generasi tabi’in, di mana mereka memahami bahwa amar ma'ruf nahi mungkar tidak perlu dilakukan sama sekali. Pemahaman ini telah diluruskan oleh Abu Bakar, Abu Tsa’labah al-Khutsani dan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhum dengan sabda Rasul,

"Kalian harus tetap amar ma'ruf nahi mungkar hingga kalian lihat:

1. Kekikiran yang ditaati
2. Hawa nafsu yang diikuti
3. Dunia yang lebih dipentingkan
4. Masing-masing bangga dengan pemikirannya sendiri

"(jika telah kalian lihat) maka urusilah dirimu sendiri dan tinggalkan urusan kebanyakan orang." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, Tirmidzi berkata: Ini hadits hasan, gharib, shahih)

Jelas dari hadits ini bahwa amar ma'ruf nahi mungkar itu ada batasnya. Yaitu jika 4 hal di atas sudah terlihat pada partai/pemimpin.

Jika ke 4 hal tersebut telah bisa dibaca dengan jelas, maka inilah saatnya kita menyelamatkan diri kita masing-masing dan meninggalkan aktifitas besar masyarakat itu, artinya, inilah saatnya golput!

Akhirnya, dengan panduan ini, selamat berhitung dengan cermat.

Ya Allah tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berikan kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil dan berikan kekuatan untuk meninggalkannya.

Wallahu a'lam
Abu Dihya
di sadur dari era muslim.com

Baca Selengkapnya.... »»

Syariah dan Khilafah: Jalan Baru Untuk Indonesia Lebih Baik


[Al-Islam 460] Hiruk-pikuk kampanye Pilpres 2009 mulai digelar. Rakyat disuguhi berbagai iklan dan orasi politik capres/cawapres. Para capres/cawapres berbusa-busa menawarkan janji, saling serang kelemahan lawan; juga membuat pernyataan, opini dan klaim keberhasilan. Pada saat yang sama, kebanyakan raktyat negeri ini masih dililit dengan berbagai persoalan. Contoh kecil adalah penderitaan dan nestapa yang menimpa Siti Hajar [...]
(33). TKI di Malasyia yang asal Limbangan Garut Jawa Barat itu terluka parah akibat siraman air panas dan dipukuli majikannya. Baru saja kasus ini masuk proses penyidikan, polisi menemukan kasus yang tidak kalah memilukan: Nurul Widayanti TKI asal Desa Dindeen, Wadungan, Ngawi, Jatim tewas tergantung di rumah orangtua majikannya, juga di Malasyia. Sangat mungkin, derita yang sama—yang tidak diekspos—juga banyak dialami oleh TKI lainnya yang tersebar di kawasan Asia Pasifik (351.966) dan Timur Tengah (343.487) berdasarkan data tahun 2007 (Kompas, 15/6/09).

Masalah juga banyak muncul di ranah hukum dan peradilan. Seorang Ibu, Prita Mulyasari, ditahan Kejaksaan hanya karena mengeluhkan pelayanan baik RS Omni Internasional Alam Sutra, Serpong melalui surat elektronik (email). Ia dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut. Penahanan prematur yang tidak memenuhi prosedur hukum ini juga mengingatkan kasus yang sering terjadi menimpa rakyat yang belum melek hukum. Tahun lalu terungkap kasus pembunuhan mutilasi berantai Ryan yang juga pelaku pembunuhan Moh Asrori, 24, warga Desa Kalangsemanding, Kecamatan Perak, Jombang. Dalam kasus ini, polisi telah melakukan salah tangkap terhadap Imam Khambali alias Kemat, Devid Eko Priyanto dan Sugik. Mereka telah terlanjur divonis masing-masing 17 dan 12 tahun atas kasus ’pembunuhan Asrori’ di kebun tebu.

Duka juga menyapa TNI. Banyak anggota TNI gugur bukan di medan perang, melainkan menjadi korban Alutsista yang sudah “usang kadaluwarso”. Dalam sepekan dua pesawat Heli jatuh. Yang terbaru adalah Helikopter Puma SA-330 dengan nomer registrasi HT 3306 yang jatuh pada hari Jumat (12/6) sekitar pukul 14.13 WIB di daerah Atang Sanjaya Bogor. Kecelakaan ini mengakibatkan gugurnya empat orang TNI dan tiga lainya luka serius. Tentu ironis. TNI, institusi yang menjadi pilar tegaknya negeri yang sangat luas teritorialnya ini, hanya memiliki peralatan tempur dan anggaran alakadarnya.

Masalah lainnya, isu Ambalat kembali mencuat. Kedaulatan Indonesia pun rentan terkoyak. Seperti yang sudah terjadi, Indonesia ‘kalah’ oleh Malaysia dalam kasus sengketa “Sipadan-Lingitan”, yang kini sudah berada dalam pangkuan Malasyia. Sebelumnya, Timor-Timor lepas dari kesatuan negeri ini. Peluang itu bisa berulang di bagian timur Indonesia (Maluku, Papua) maupun barat Indonesia (Aceh) jika Pemerintah tetap tidak serius menjaga kedaulatan negeri ini.

Di sektor keuangan, Indonesia juga menjadi negara yang tidak pernah merdeka dari jeratan hutang dan bunganya. Pada Desember 2003 posisi hutang Indonesia adalah Rp 1.275 triliun. Pada Januari 2009, hutang Indonesia membengkak menjadi Rp 1.667 triliun. Jumlah tersebut, jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia, menjadi Rp 7,7 juta perkepala. Selama kepemimpinan SBY-JK, hutang meningkat hampir 13% (Rp 400 triliun) hanya dalam kurun waktu empat tahun, yakni naik sekitar Rp 80 triliun pertahun. Inilah “prestasi hutang” terbesar dari pemerintahan SBY-JK dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Jelas, angka ini tidak sebanding dengan anggaran untuk sektor yang menyangkut hajat asasi hidup rakyat seperti pertanian (Rp 8 triliun), pendidikan (Rp 62 triliun), kesehatan (Rp 20 triliun), kementerian lingkungan hidup (Rp 376 miliar). Sementara itu, dalam APBN 2009, untuk membayar hutang tersebut dianggarkan dana sebesar Rp 162 triliun.

Yang lebih parah, dalam dokumen yang ditemukan INFID, program BLT yang diklaim sebagai program hasil rancangan Pemerintah Indonesia ternyata ada dalam dokumen Bank Dunia. Dalam “Document Policy Loan (DPL)” Bank Dunia, program BLT tersebut didukung oleh ADB (Asian Development Bank) dan Jepang, dan ini adalah program Bank Dunia (Media Indonesia, 15/6).

Ini tentu ironis. Pasalnya, Pemerintah ternyata memberikan “uang cuma-cuma” kepada sebagian rakyat dari hasil hutang luar negeri yang juga harus ditanggung rakyat. Dengan kata lain, sebagian rakyat yang mendapatkan BLT sebesar Rp 300 ribu setiap tiga bulan, ternyata sekaligus diberi beban hutang oleh Pemerintah sebesar Rp 7,7 juta perkepala.
Kepedulian Musiman

Bagaimana sikap penguasa terhadap borok-borok yang bermunculan silih berganti ini? Ternyata kepedulian penguasa dan elit politik hanya bersifat musiman. Rakyat hanya diperhatikan setiap menjelang Pemilu dan Pilpres. Ironisnya, derita rakyat sekadar dieksploitasi ramai-ramai sekadar untuk mendongkrak popularitas dan perolehan suara di Pilpres 2009.

Pertanyaannya, akankah pergantian kepemimpinan Indonesia 2009 membawa perubahan bagi rakyat? Mampukah penguasa baru membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka dari penjajahan ekonomi, politik, hukum dan budaya? Bisakah sekadar pergantian sosok pemimpin menjadi satu-satunya solusi bagi Indonesia untuk mengatasi krisis multidemensi yang kronis ini?

Sekularisme: Akar Masalah

Lebih dari setengah abad Indonesia merdeka dari penjajahan fisik. Namun, hingga kini mayoritas rakyatnya tidak hidup dalam kebaikan; kebanyakan mereka miskin, bodoh, dan teraniaya. Padahal negeri dengan populasi jumlah penduduk terbesar nomer empat di dunia (setelah Cina, India dan AS) ini memiliki potensi sumberdaya pertanian dan kekayaan mineral yang sangat melimpah.

Mengapa semua ini terjadi? Jika ditelaah secara jernih, semua persoalan yang tengah dihadapi Indonesia dan belahan Dunia Islam lainnya berpangkal pada penerapan sistem sekular-kapitalis dan tidak adanya kedaulatan syariah. Dengan kata lain, sistem Islam tidak diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Inilah akar berbagai persoalan ikutan seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kerusakan moral, kezaliman, disintegrasi serta penjajahan dalam segala bentuknya.

Sejak kemerdekaan hingga saat ini, sekularisme (keyakinan yang menolak campur tangan agama dalam kehidupan) mengatur Indonesia, terlepas dari siapapun yang berkuasa. Syariah Islam yang berasal dari Zat Yang Maha Pengatur tidak pernah diterapkan sejak negeri ini merdeka. Akibatnya, rakyat Indonesia terus-menerus hidup dalam krisis yang tidak berkesudahan. Indonesia, dengan sistem sekularnya, terbukti gagal mengantarkan rakyat (warga negara) pada kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan. Inilah fakta dan keniscayaan dari sebuah sistem yang rusak, yang bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia.

Di Indonesia, sistem sekular yang mencampakkan syariah Allah ini tidak pernah sungguh-sungguh mendapatkan dukungan dari umat. Sebabnya, ia kontradiksi dengan akidah umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini.

Rahasia Kejayaan

Agar Indonesia maju, bagi umat Islam tidak ada pilihan kecuali kembali pada rahasianya, yaitu penerapan sistem (syariah) Islam secara kâffah. Islam harus menjadi ideologi yang melandasi semua bentuk interaksi kehidupan sosial, baik dalam negeri maupun luar negeri. Syariah Islam telah menyiapkan negara dengan ditopang oleh sejumlah struktur yang diperlukan, di antaranya adanya khalifah (kepala negara), para mu’âwin (pembantu khalifah), para wali (kepala daerah), hingga para qâdhi (hakim), petugas administrasi dan majelis umat.

Dalam sistem ekonomi Islam, terdapat berbagai ketentuan syariah yang berkaitan dengan tanah, kepemilikan, industri, perdagangan dalam dan luar negeri dan sistem lainya. Semua itu menjadi perangkat penting untuk menjamin terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan.

Lalu terkait dengan politik luar negeri, ada ketentuan syariah mengenai kewajiban untuk membangun tentara yang kuat, bukan berdasarkan konsep tipuan Barat, yakni “minimum deterrence” (pertahanan minimal). Konsep ini hanyalah dimaksudkan untuk mematikan kekuatan militer Dunia Ketiga, khususnya Dunia Islam, dan demi melanggengkan kekuasan Barat atas negeri-negeri jajahannya.

Islam, dengan seperangkat konsepnya yang lengkap dan mudah diterapkan, akan menjadikan Indonesia berdaulat atas seluruh kekayaan dan potensi melimpah yang dimilikinya. Dengan menerapkan syariah Islam, Indonesia tidak akan menjadi negara yang mengabdi pada kepentingan asing, mengatur rakyatnya dengan undang-undang ataupun konsensus pihak asing (misal: Konsensus Washington) yang liberal dan menjadikan rakyat “kere” di negerinya sendiri yang subur, persis seperti pepatah: seperti unta yang mati karena kehausan, padahal ia memikul air di punggungnya.

Yang pasti, Allah SWT sudah jauh-jauh hari mengingatkan umat ini atas sikap abainya terhadap penerapan syariah Islam:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (١٢٤

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan pada Hari Kiamat nanti Kami akan membangkitkannya dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).

Syariah dan Khilafah: Jalan Baru Indonesia

Setelah Sosialisme ambruk, Kapitalisme-liberalisme yang sekarang diterapkan pun gagal total dalam memajukan negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, maka tentu tidak ada jalan lain bagi kaum Muslim kecuali kembali pada syariah Islam. Indonesia akan bangkit dan maju hanya dengan menerapkan syariah Islam ini secara kâffah. Inilah yang berkali-kali diingatkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, termasuk saat peluncuran “Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia yang Lebih” di Jakarta beberapa waktu lalu, dan serentak dilaksanakan di seluruh daerah di Indonesia dalam pekan-pekan terakhir ini.

Singkatnya, dengan Manifesto-nya, Hizbut Tahrir kembali mengingatkan bahwa umat Islam dan manusia secara keseluruhan hanya akan kembali dapat menikmati kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera dalam naungan ridha Allah SWT dengan cara menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam sebuah negara yang diwariskan oleh Rasulullah saw., yakni Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah. Yang terpenting, hanya dalam Khilafah yang menerapkan syariah secara kâffah umat Islam dapat merealisasikan ketundukan, ketaatan dan kepasrahannya secara total kepada Allah SWT. Bersamaan dengan itu, Indonesia terus berusaha menyiapkan kemampuan diri untuk memimpin bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, menjadi negara yang berpengaruh dan disegani serta bisa membawa dunia ini dalam naungan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, insya Allah. []

Komentar al-Islam:

Menkeu Sri Mulyani yakin, ekonomi Indonesia tumbuh 7 persen pada 2011 (Koran Tempo, 16/6/2009).

Begitulah negara kapitalis, hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi dan selalu abai terhadap pemerataan ekonomi.

Baca Selengkapnya.... »»

6.13.2009

Mematikan Autoplay di Windows XP


Untuk mencegah virus berjalan secara otomatis ketika removable disk ( Flash disk, floppy disk, flash memory dsb ) disambungkan ke komputer. Anda harus mematikan dulu autoplay pada media tertentu terlebih dahulu. Ada banyak cara untuk mematikan autoplay pada falsh disk atau apa pun media yang digunakan. Bisa dari registry ataupun group policy.Tips...
Untuk mencegah virus berjalan secara otomatis ketika removable disk ( Flash disk, floppy disk, flash memory dsb ) disambungkan ke komputer. Anda harus mematikan dulu autoplay pada media tertentu terlebih dahulu. Ada banyak cara untuk mematikan autoplay pada falsh disk atau apa pun media yang digunakan. Bisa dari registry ataupun group policy.


Tips berikut ini adalah cara mematikan Autoplay paling mudah , yaitu :
1. Klik tombol start dan pilih RUN, kemudian ketik gpedit, seperti gambar dibawah ini


2. Kemudian klik ok akan tampil windows dibawah ini



3. Yang pertama mematikan autoplay di computer configuration dengan cara klik administrative template trus system disebelah kanan cari lah tulisan "Turn Off Autoplay" kemudian di klik, lalu klik "Enable" kemudian Apply dan Ok


4. Yang kedua Lakukan yang sama untuk User configuration.

Baca Selengkapnya.... »»

Mencegah Virus aktif dari autorun.inf dengan USB Firewall


Seperti telah diketahui, penyebaran virus mayoritas berasal dari flashdisk atau media berbasis USB lainnya. Salah satu cara mencegahnya dengan mematikan fasilitas autorun windows (artikel sebelumnya). Tetapi bagi yang menginginkan cara lainnya atau ingin menambah agar lebih aman bisa menggunakan software gratis ini, USB Firewall.Aplikasi...
Seperti telah diketahui, penyebaran virus mayoritas berasal dari flashdisk atau media berbasis USB lainnya. Salah satu cara mencegahnya dengan mematikan fasilitas autorun windows (artikel sebelumnya). Tetapi bagi yang menginginkan cara lainnya atau ingin menambah agar lebih aman bisa menggunakan software gratis ini, USB Firewall.


Aplikasi buatan Net-Studio ini meskipun sederhana dan tetapi sesuai dengan namanya, mampu mencegah program berjalan tanpa sepengetahuan kita dari media seperti flashdisk.

USB FireWall akan mem-blok semua virus dan program lainnya yang mencoba menjalankan diri melalui Flashdisk, ketika kita memasang Flashdisk tersebut di komputer. Aplikasi ini akan berjalan di background (belakang) dan akan segera memberikan peringatan/tanda jika ada aplikasi berjalan melalui autorun. Selanjutnya sebelum program aktif kita dapat menghentikan dan menghapus file tersebut.


Tidak seperti antivirus, USB Firewall tidak memerlukan update, karena bukan mendeteksi virus-nya tetapi mendeteksi pemicu penyebaran virus. USB Firewall juga bisa digunakan untuk membersihkan partisi hardisk lainnya ( misal drive D: E: dan lainnya) dari adanya aplikasi yang memanfaatkan autorun ini.

Pengoperasian

Setelah program ini di install, maka aplikasi akan berjalan di background. Jika ada flashdisk atau USB device yang dipasang dan ada file autorun.inf atau ada program yang ingin berjalan tanpa sepengetahuan kita, maka program akan aktif dan menginformasikan ke penggunanya. Selanjutnya kita dapat memilih opsi/menu yang telah disediakan.

* Tombol Show Autorun.inf, untuk menampilkan isi file autorun.inf tersebut. Sehingga kita bisa mengetahui sebenarnya file ini akan menjalankan aplikasi apa. Mengenai autorun.inf, bisa membaca artikel tentang Mengenal lebih dekat Autorun.inf
* Tombol Delete, untuk menghapus file autorun.inf dan file lainnya yang bisa berhubungan dengannya.
* Tombol Cancel, untuk mengabaikan proses dan membiarkan jika ada file/aplikasi yang akan berjalan lewat autorun.inf
* Tombol Minimize, untuk mengembalikan program berjalan di backround (belakang), tampil setelah kita klik tombol Delete atau Cancel


USB Firewall 1.1.3 dapat diperoleh / download di link berikut : Use Firewall 1.1.3(4.6 MB). Website resminya ( Net-studio.org )

Sumber : http://ebsoft.web.id/2009/01/15/mencegah-virus-aktif-dari-autoruninf-dengan-usb-firewall/


Baca Selengkapnya.... »»

Umat Membutuhkan ‘Ulama Akhirat’

Al-Islam 457] Pemilihan Presiden dan Wapres (Pilpres) 2009 akan digelar tidak lama lagi setelah pengumuman tiga pasangan capres-cawapres dalam beberapa pekan terakhir. Berbagai strategi dan cara digelar untuk meraih kemenangan. Yang menarik, setiap pasangan capres-cawapres merasakan kebutuhan dukungan dari ‘penguasa non-formal’ yang ada di tengah-tengah masyarakat. Mereka adalah para ulama, kiai, tuan
guru, tengku dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh. Setiap menjelang Pemilu, termasuk Pilpres kali ini, mereka sering kedatangan tamu tim sukses pasangan capres-cawapres, atau bahkan langsung pasangan capres-cawapresnya.

Di sisi lain, ada sebagian orang dengan julukan kiai atau ulama bertandang ke kediaman pasangan capres-cawapres. Ada pula yang bertemu di luar ‘kandang’ masing-masing dengan cara menggelar satu acara atau agenda yang bertajuk ‘keumatan’. Pada pertemuan-pertemuan tidak resmi di tengah-tengah jamaah para kiai/ulama tidak jarang “pesanan politik” juga disampaikan. Targetnya tentu saja adalah menjajaki dukungan para tokoh umat ini, dan tentu dengan kompensasi.

Akibat dukung-mendukung capres-cawapres ini, tidak jarang hubungan silaturahmi menjadi renggang hanya karena masing-masing berbeda visi dan dukungan politiknya. Masing-masing pasangan saling mengklaim bahwa mereka pro-rakyat, sementara pasangan lain pro-asing (dengan julukan neoliberal). Padahal sebenarnya semua pasangan adalah pengusung liberalisme, hanya dengan kadar yang berbeda-beda. Ini adalah fakta yang tentu sangat memprihatinkan. Umat menjadi bingung dengan arah politik para ulama dan kiai mereka. Pasalnya, masing-masing kiai/ulama memiliki tujuan politik yang semuanya bisa dikemas dengan bungkus dalil agama. Sebagian kiai/ulama itu seolah menjadi makelar dagangan yang bernama “tahta”. Mereka mengabaikan fungsi, tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya dalam kehidupan sosial-politik.

Lantas apakah yang perlu direnungkan oleh ulama dan umatnya terkait dengan pemilihan pemimpin saat ini? Bagaimana tanggung jawab ulama dalam kehidupan politik dan bernegara? Sejauh mana peran dan fungsi ulama dalam proses perubahan menuju Indonesia yang bersyariah, yang baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr?

Sekularisme: Ancaman Terbesar

Peran ulama sepanjang masa kehidupan kaum Muslim, khususnya dalam kehidupan politik, sangatlah penting. Bahkan pada masa-masa kemunduran umat Islam sekalipun, peran penting ulama dalam kehidupan politik tetap tidak tergantikan. Pasalnya, Islam memang tidak memisahkan antara kehidupan politik dan spiritual, bahkan saat umat jatuh dalam kubangan sekularisme (yang menjauhkan agama dari urusan sosial-politik-kenegaraan) saat ini, yang berdampak pada terpinggirkannya para ulama. Ulama masih memiliki tempat tersendiri dalam pribadi umat dengan berbagai alasan. Karena itu, para penguasa atau calon penguasa selalu berusaha untuk meraih dukungan mereka.

Di sisi lain, ada sebagian kiai/ulama yang merespon persoalan politik kekinian (seperti Pilpres 2009) dengan memberikan panduan kepada umatnya. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, misalnya, menyatakan bahwa pemimpin kaum Nahdliyyin memberikan dua syarat untuk calon presiden mendatang. Menurutnya, syarat pertama, calon presiden itu harus menyelamatkan agama, dan syarat kedua, calon presiden tidak membawa agenda neoliberalisme.

Pandangan dan sikap yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi sebagai pimpinan kaum Nahdliyyin ini sangatlah penting untuk memberikan wawasan kepada jamaahnya agar di Pilpres bulan Juli nanti mereka tidak salah memilih (Eramuslim.com).

Sayang, pandangan dan sikap ini tidak menyentuh “sistem politik” yang tegak saat ini. Padahal menyelamatkan agama sejatinya adalah dengan menegakkan akidah dan syariah Islam dalam semua aspek kehidupan mereka, baik di ranah pribadi maupun ranah sosial-politik-kenegaraan. Semua ini tentu tidak bisa diwujudkan dalam sistem politk sekular saat ini. Sebaliknya, keselamatan agama menuntut adanya institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.

Lagipula, masalah kepemimpinan sesungguhnya terkait dengan dua faktor: sosok pemimpin dan sistem kepemimpinan yang digunakannya. Jika panduan untuk memilih pemimpin ini hanya terkait dengan sosok pemimpinnya saja, tentu hal demikian telah mengabaikan sama sekali sistemnya (yakni sistem sekular) yang justru gagal menyelamatkan agama dari pengebirian perannya sekadar sebatas penjaga moral belaka. Dalam sistem sekular saat ini, peran agama sebagai solusi atas seluruh problem kehidupan malah disingkirkan jauh-jauh. Sistem sekular ini pun sekaligus menjadi payung bagi tegaknya neoliberalisme/liberalisme dalam berbagai aspek kehidupan umat.

Karena itu, kesadaran akan bahaya sekularisme ini harus ada di benak para ulama. Singkat kata, ulama harus mulai menyadari bahwa sistem sekular inilah yang harus terlebih dulu disingkirkan dan digantikan dengan sistem Islam, yakni sistem yang menegakkan syariah Islam, sebelum umat ini benar-benar diarahkan untuk memilih pemimpinnya. Jika hal ini tidak dilakukan, siapapun pemimpin yang terpilih, yakinlah, mereka hanya akan semakin mengokohkan sistem sekular ini. Akibatnya, harapan untuk menyelamatkan agama sekaligus menjauhkan neoliberalisme akan menjadi tinggal harapan, tidak akan pernah mewujud dalam kenyataan. Pasalnya, justru sekularismelah ancaman yang sebenarnya terhadap keselamatan agama, dan sekularisme pula yang sekaligus menjadi pintu yang sangat lebar bagi masuknya neoliberalisme.

Peran dan Tanggung Jawab Ulama

Ulama adalah pewaris para nabi. Apa yang diwariskan oleh para nabi tentu tidak akan digadaikan dengan apapun, meski dengan seluruh isi bumi dan langit ini. Tentu karena para ulama adalah orang-orang yang memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Atas dasar iman dan ilmunya, ulama akan senantiasa berjuang membimbing umat untuk senantiasa hanya menghamba kepada Allah SWT secara total. Penghambaan secara total itu harus dibuktikan dengan cara menjalani dan menata hidup ini sesuai dan tuntunan (baca: syariah Islam) yang dibawa oleh Rasulullah saw., baik dalam kehidupan politik maupun spiritual, seraya berharap keridhaan Allah SWT sebagai tujuan paling puncak.

Karenanya, ulama harus menjadi penyambung lidah umat di hadapan para penguasa. Ulama harus menjadi pembimbing mereka menuju kepemimpinan yang mulia dengan Islam. Sebab, mereka semua adalah hamba-hamba Allah SWT yang juga merindukan surga.

Namun demikian, fungsi ulama akan pudar dan tertutup dengan sikap dukung-mendukung calon pemimpin tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i. Selain itu, dukungan ulama sejatinya hanya diberikan kepada mereka yang mau menegakkan akidah dan syariah Islam secara kâffah, bukan kepada mereka yang akan melanggengkan sekularisme yang nyata-nyata selalu menjadi ancaman bagi keselamatan agama dan menjadi pintu masuk bagi bercokolnya neoliberalisme.

Di sisi lain, para pemimpin atau calon pemimpin harus dekat dengan ulama semata-mata demi meminta bimbingan menuju ridha Allah SWT, dan bukan demi ‘membeli’ ulama sekadar untuk meraih atau melanggengkan kekuasaan.

Umat hari ini merindukan sosok ulama yang ikhlas berjuang dengan pengorbanan maksimal agar bisa mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliah modern, derita dan nestapa dalam kerangkeng sistem sekular-liberal; menuju cahaya Islam dalam wujud masyarakat dan negara yang bersyariah, yang berjalan di atas hidayah Islam. Itulah masyarakat dan negara yang pernah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para khalifah beliau.
Sifat-sifat Ulama

Karena itu, ulama harus memiliki sejumlah sifat dan karakter khas, antara lain: Pertama, senantiasa berzikir kepada Allah dalam semua keadaan. Allah SWT berfirman:

]الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ[

Mereka adalah orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadan berbaring (QS Ali Imran [3]: 191).

Kedua, menjauhi penghambaan kepada thâghût. Allah SWT berfirman:

]وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا[

Mereka adalah orang-orang yang menjauhi thâghût, yaitu tidak menghambakan diri kepadanya (QS az-Zumar [39]: 17).

Ketiga, senantiasa bertobat (kembali) kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:

]وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ[

Mereka senantiasa kembali kepada Allah (QS az-Zumar [39]: 17).

Keempat, selalu menghubungkan apa saja yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan seperti silaturahmi, loyal kepada sesama Mukmin, mengimani semua nabi dan menjaga semua hak manusia. Allah SWT berfirman:

]وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ[

Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan (QS ar-Ra’d [13]: 21).

Seorang ulama pasti lebih suka berdekatan dengan seorang Muslim yang taat daripada dengan mereka yang selalu memusuhi umat Islam. Ulama pun akan menjadi perekat umat, pionir ukhuwah islamiyah, dan tidak mungkin menjadi pemecah-belah umat.

Kelima, memiliki rasa takut kepada Allah dan keagungan-Nya, sebagaimana firman-Nya:

]وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ[

Mereka selalu takut kepada Tuhannya (QS ar-Ra’d [13]: 21).

Ulama hakiki akan memiliki rasa takut yang luar biasa kepada Allah. Dia akan lebih mudah menangis daripada tertawa terbahak-bahak. Tampak keanggunan dan kewibawaannya karena kekhusyukan yang memancar dalam dirinya.

Keenam, takut terhadap keburukan Hari Penghisaban, sebagaimana firman-Nya:

]وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ[

Mereka senantiasa takut pada hisab yang buruk (QS ar-Ra’d [13]: 21).

Rasa takut ini tercermin dalam ucapan dan semua perbuatannya untuk selalu menjauhi semua larangan Allah.

Ketujuh, memiliki kesabaran dalam menghadapi semua beban, kesulitan dan musibah di dunia serta senantiasa menentang kehendak hawa nafsu. Allah SWT berfirman:

]وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ[

Mereka adalah orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya (QS ar-Ra’d [13]: 22).

Semua perintah Allah adalah kewajiban dan beban yang harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran. Demikian juga dengan musibah.

Umat Membutuhkan ’Ulama Akhirat’

Sebagaimana dimaklumi, kewajiban terbesar umat Islam hari ini adalah mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah masyarakat dengan menegakkan seluruh syariah Allah SWT. Sebaliknya, kemungkaran terbesar yang wajib ditumbangkan saat ini adalah sistem thâghût yang menerapkan hukum-hukum kufur buat manusia. Itulah sistem sekular yang tengah berlangsung saat ini.

Karena itu, saat ini umat benar-benar membutuhkan ’ulama akhirat’ yang bisa membimbing mereka untuk kembali pada Islam secara kâffah sambil terus-menerus memberikan dorongan dan dukungan terhadap perjuangan ke arah penegakkan syariah Islam. Umat membutuhkan ulama yang meneladani perjuangan Rasulullah saw. dalam mewujudkan masyarakat islami, yang menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan, dalam Daulah Khilafah. Hanya dengan itulah cita-cita umat mewujudkan baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr akan benar-benar terwujud, insya Allah.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

Baca Selengkapnya.... »»

Ekonomi yang Bedaulat dan Pro Rakyat

[Al-islam 456] Mengawali Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 ini ada isu penting yang diusung pasangan capres-cawapres, yakni isu ekonomi. Dalam visi-misi pasangan capres-cawapres terlihat jelas masalah ekonomi mendapat porsi khusus. Pasangan SBY-Boediono (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Boediono), misalnya, mengatakan tidak akan menyerahkan perekonomian kepada pasar bebas. Akan ada campur-tangan negara, meski tidak boleh terlalu jauh, karena
hal itu akan mematikan sektor swasta.

Namun, masih hangat dalam ingatan kita, pada tahun 1996-1998, ketika Boediono menjabat sebagai Direktur I BI urusan analisa kredit, terkucurlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 400 triliun. Kemudian ketika Boediono menjadi Kepala Bappenas, dalam masa itu terkucurlah dana rekap perbankan Rp 600 tirliun. Ironisnya, para obligor BLBI justru diberikan Release and Discharge alias dibebaskan dari masalah hukum. Akhirnya, rakyatlah yang harus membayarnya hingga tahun 2032. Kita juga tidak lupa, tahun 2001-2004 ketika Boediono menjadi Menkeu, keluarlah kebijakan privatisasi dan divestasi yang ugal-ugalan. Banyak aset strategis yang dilego: Indosat, BCA, dll.

Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto berkomitmen membangun ekonomi kerakyatan. Di depan Kadin Indonesia, JK berjanji akan mewujudkan ekonomi mandiri, dalam pengertian ekonomi yang memberdayakan seluruh kekuatan bangsa, terlepas dari ketergantungan asing (Republika, 19/5/209).

Namun, kita pun tahu, selama pemerintahan SBY-JK, JK dianggap berperan banyak dalam mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang juga tak kalah liberalnya, seperti menaikkan harga BBM di atas 100 persen yang jelas-jelas membebani rakyat.

Adapun pasangan Megawati-Prabowo sepakat untuk membangun ekonomi kerakyatan. Bahkan pasangan ini sudah berbagi tugas, Prabowo ditugaskan menangani masalah perekonomian untuk fokus membangun ekonomi kerakyatan dan kebangkitan ekonomi rakyat (Kompas, 19/5/2009).

Namun, kita pun tidak mungkin lupa, pada masa kepemimpinan Megawati pula, aset-aset negara banyak dijual atas nama privatisasi.

Semua pasangan memang mengedepankan isu ekonomi. Namun menurut Prof. Dr. Adi Sulistyono, apa yang mereka sampaikan masih sebatas wacana. Belum ada penyampaian solusi nyata untuk mengatasi persoalan ekonomi bangsa ini (Kompas, 18/5/2009).

Begitu pula janji mewujudkan ekonomi yang mandiri dan berdaulat. Janji itu juga masih terlihat sekadar janji kosong. Pasalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa utang, khususnya utang luar negeri, adalah pintu masuk bagi campur tangan asing untuk menyetir perekonomian negeri ini.

Nah, sampai saat ini belum ada pasangan yang secara tegas bertekad untuk menutup pintu itu. Sepanjang pemerintahan SBY-JK saja, utang luar negeri Indonesia bertambah rata-rata Rp 80 triliun pertahun. Artinya, selama kepemimpinan SBY-JK, hanya dalam lima tahun, utang Indonesia bertambah kurang-lebih Rp 240 triliun. Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang pada era Orde Baru, yakni Rp 1.500 triliun dalam jangka 32 tahun atau sekitar Rp 46,875 triliun pertahun (Kau.or.id, 9/4/2009).

Padahal mewujudkan ekonomi yang berdaulat dan mandiri meniscayakan penghentian campur tangan asing. Langkah pertamanya adalah menutup pintu masuknya campur tangan asing itu, yaitu utang luar negeri. Baru setelah itu campur tangan asing yang sudah terlanjur masuk dibereskan dan dibersihkan. Jika langkah ini belum diupayakan, jangan berharap ekonomi berdaulat dan mandiri bisa diwujudkan. Akhirnya, semua yang dikampanyekan oleh para capres-cawapres seputar kemandirian ekonomi hanya akan menjadi pepesan kosong.

Apalagi bangunan hukum yang menjadi pondasi dan pemandu perekonomian negeri ini memang sudah bercorak liberal. Hal itu seperti yang terwujud dalam berbagai undang-undang berbau liberal seperti UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Migas dan UU yang mengamanatkan privatisasi (penjualan aset negara, khususnya kepada pihak asing) dan sebagainya. Karena itu, untuk membangun ekonomi yang tidak lagi berhaluan neoliberal, bangunan hukum yang bercorak liberal itu harus dihilangkan. Sebagai gantinya dibuat bangunan hukum yang menjadi pondasi sistem perekonomian baru. Itulah sistem ekonomi Islam.

Hanya dengan Sistem Ekonomi Islam

Kesejahteraan bagi seluruh rakyat sangat dipengaruhi oleh distribusi (penyebaran) kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Kesejahteraan yang merata akan terus menjadi mimpi dalam sistem ekonomi Kapitalisme. Pasalnya, Kapitalisme dibangun di atas asumsi dasar, bahwa persoalan utama ekonomi adalah kelangkaan barang dan jasa. Solusinya adalah produksi, bukan distribusi. Konsekuensinya, yang menjadi fokusnya adalah pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan ekonomi.

Selain itu, kesejahteraan juga berkaitan dengan pengaturan kepemilikan secara tepat. Kesejahtaraan juga terus menjadi mimpi jika berusaha diwujudkan melalui ideologi dan sistem ekonomi Sosialisme yang dibangun di atas ide dasar pemberangusan kepemilikan individu.

Kesejahteraan yang merata hanya akan bisa diwujudkan melalui ideologi dan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam dibangun di atas ide dasar bahwa masalah utama ekonomi terkait dengan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Distribusi ini erat kaitannya dengan konsep kepemilikan. Untuk itu, Islam mengatur kepemilikan yang membenarkan kepemilikan individu dan mengaturnya sehingga individu tetap bisa memiliki harta dan terdorong untuk memproduksi dan mendapatkan harta. Islam juga mengatur kepemilikan dengan menetapkan harta-harta tertentu seperti fasilitas umum serta barang tambang yang melimpah, hutan, laut, sungai dsb sebagai milik umum. Dalam hal ini, seluruh rakyat berserikat atas kepemilikan harta itu dan berhak mendapatkan manfaatnya. Harta milik umum itu diserahkan pengelolaannya kepada negara mewakili rakyat. Seluruh hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat baik dalam bentuk produknya, atau dalam bentuk pelayanan mulai kesehatan gratis, pendidikan gratis, pembangunan jalan, infrastruktur dan fasilitas umum lainnya. Semua itu bisa dibiayai dari hasil pengelolaan harta kekayaan milik umum itu. Ketika pendidikan, pelayanan kesehatan serta berbagai pelayanan dan fasilitas umum itu dijamin oleh negara dan bisa diakses oleh seluruh rakyat, Muslim maupun non-Muslim, maka jelas hal itu sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat pada umumnya.

Sebaliknya, hal itu mustahil bisa diwujudkan dalam sistem Kapitalisme sekarang. Pasalnya, sebagian besar sumberdaya alam—yang menjadi sumber utama pemasukan negara untuk membiayai semua kebutuhan rakyat—sering malah dijual kepada pihak asing atas nama privatisasi yang telah diamanatkan undang-undang. Itulah yang terjadi di Indonesia saat ini

Selain itu, untuk mewujudkan ekonomi yang pro-rakyat jelas penciptaan lapangan kerja menjadi sangat penting. Dalam sistem Islam hal itu bisa diwujudkan melalui pembangunan berbagai infrastruktur, pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas dan pelayanan umum. Lapangan kerja akan lebih banyak terbuka lagi oleh individu/swasta dengan bisnis atau usaha yang dijalankannya. Karena itu, penciptaan iklim usaha yang bagus juga sangat penting. Di sinilah pentingnya ada bangunan hukum dan sistem politik yang selaras. Iklim usaha yang bagus akan terwujud jika birokrasinya sederhana, tidak berbelit dan tidak dihambat dengan berbagai macam pungutan. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam an-Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm halaman 211 menyatakan, bahwa dalam Islam politik administrasi/birokrasi instansi didasarkan pada prinsip: sederhana dalam sistem/aturan, kecepatan menyelesaikan aktivitas dan profesionalisme pelaksananya. Ini merupakan bentuk ihsân dalam beraktivitas yang dituntut oleh syariah. Rasul saw. bersabda:

«إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ»

Sesungguhnya Allah menetapkan ihsan atas segala hal (HR Muslim).

Dalam sistem Islam, para pelaku usaha juga tidak akan dibebani dengan berbagai macam pungutan (pajak, retribusi dan pungutan lainnya). Rasul saw. pernah bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai (HR Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi).

Para pedagang warga negara juga terbebas dari pungutan cukai dalam segala bentuknya, termasuk ketika melakukan kegiatan ekspor-impor. Jelas ini akan menggairahkan perdagangan. Lalu rakyat yang mengalami kesulitan berusaha akan dibantu oleh negara dalam bentuk bantuan modal, peralatan, fasilitas dan sebagainya. Islam telah menetapkan sistem yang menjadikan negara mampu melakukan hal itu karena Islam menetapkan harta-harta tertentu sebagai milik negara sehingga negara memiliki cukup biaya untuk itu.

Dengan semua itu, ekonomi riil akan bergerak sehingga bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan secara nyata.

Semua itu tidak akan direcoki oleh naik-turunnya suku bunga karena Islam mengharamkan riba. Dengan itu akan terwujud kemandirian ekonomi yang meratakan kesejahteraan. Campur tangan asing melalui utang luar negeri pun akan pupus. Sebab, utang luar negeri seperti dalam bentuknya sekarang ini dalam pandangan Islam jelas haram. Selain mengandung riba, utang lur negeri juga bisa menjadi jalan bagi orang kafir menguasai kaum Mukmin. Semua itu jelas haram.

Dengan menerapkan semua kebijakan di atas, seluruh rakyat, Muslim maupun non-Muslim, akan bisa merasakan kehidupan ekonomi yang baik dan stabil. Semua orang bisa merasakan kesejahteraan. Kekayaan mereka pun akan terjaga dari gerusan penurunan nilai mata uang karena mata uang negara dalam Islam harus berbasis emas dan perak. Sejarah telah menunjukkan mata uang emas dan perak bisa menjaga nilai kekayaan masyarakat.

Wahai Kaum Muslim:

Selama sistem yang dipakai adalah Kapitalisme, kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat akan terus menjadi mimpi. Ekonomi yang berdaulat/mandiri dan pro-rakyat jelas hanya akan bisa diwujudkan dengan sistem Islam. Caranya adalah dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang dijalankan dalam bangunan hukum dan sistem politik Islam secara konsisten.

Karena itu, kita wajib mewujudkan sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam bangunan sistem politik Islam, yaitu Khilafah Rasyidah. Itulah salah satu wujud ketakwaan kita. Dengan itulah harapan semua orang selama ini akan bisa terwujud. Allah SWT berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS al-A’raf [7]: 96).


Baca Selengkapnya.... »»

Memelihara Ketaatan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah, jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedangkan mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya. Jika kalian telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah berburu. Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjid al-Haram mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka). Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya (QS al-Maidah [5]: 2).


Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû lâ tuhillû sya’âiral-Lâh (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin. Mereka diserukan agar tidak melanggar sya’âiral-Lâh. Kata sya’âir merupakan bentuk jamak dari kata sya’îrah yang bermakna muf’ilah. Kata al-musy’irah bermakna al-mu’limah (yang memberitahukan); dan al-isy’âr berarti al-i’lâm (pemberitahuan). Oleh karena itu, segala sesuatu yang dijadikan sebagai pemberitahuan atas sesuatu yang lain, dapat disebut sebagai sya’îrah.1

Terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir mengenai makna sya’âiral-Lâh. Ada yang memahami kata tersebut hanya menyangkut taklif khusus, yakni syiar dalam manasik haji, seperti tawaf, sa’i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, melempar jumrah, dan lain-lain. Terhadap semua syiar haji tersebut, kaum Muslim dilarang meninggalkan atau mengganti dengan aktivitas lainnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas dalam suatu riwayat, Mujahid, as-Samarqandi, dan al-Baidhawi.2

Ada pula yang memaknai secara umum mencakup semua syiar-syiar Allah. Atha’ bin Abi Rubah mengatakan, sya’âiral-Lâh adalah semua yang diperintahkan dan yang dilarang. Al-Hasan menafsirkannya sebagai dînul-Lâh.3 Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu ‘Athiyah juga berpendapat demikian.4 Penafsiran tersebut memberikan pengertian, kaum Muslim dilarang melanggar semua batas-batas yang berasal dari-Nya. Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima. Sebab, kata tersebut bersifat umum dan tidak terbatas pada syiar-syiar tertentu. Pasalnya, tidak ada dalil yang mengkhususnya sehingga tetap dalam keumumannya. Pengertian tersebut juga dapat dijumpai dalam QS al-Hajj [22]: 32.

Juga: wa lâ asy-syahr al-harâm (dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram). Penjelasan mengenai bulan haram terdapat dalam beberapa ayat dan hadis. Dalam QS at-Taubah [9]: 36 disebutkan bahwa bilangan bulan di sisi Allah ada dua belas; empat di antaranya adalah bulan haram yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Kata asy-syahr al-hârâm dalam kata tersebut li al-jins (bermakna jenis) sehingga mencakup semua bulan haram.5 Frasa wa lâ asy-syahr al-harâm di sini memberikan makna: Jangan pula kalian menganggap halal berperang pada bulan haram.6Larangan tersebut itu juga terdapat dalam beberapa ayat lain, seperti QS al-Baqarah [2]: 194 dan 217). Akan tetapi, menurut jumhûr al-mufassirîn ketentuan itu telah mansûkh (dihapus) oleh QS at-Taubah [9]: 5.7

Diserukan pula: wa lâ hady wa lâ al-qalâid (jangan [mengganggu] binatang-binatang had-ya dan binatang-binatang qala-id). Menurut Ibnu ‘Athiyah, tidak ada perbedaan pendapat mengenai makna al-hadyu. Al-Hadyu adalah binatang ternak yang diserahkan ke Baitullah, baik berupa unta, sapi, atau kambing.8 Adapun kata al-qalâid merupakan bentuk jamak dari al-qilâdah yang berarti kalung. Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah binatang-binatang yang hendak dikurbankan dan ditandai dengan kalung. Penyebutan tersebut terkategori sebagai athf al-khâshsh ‘alâ al-‘âmm (menambahkan yang khusus atas yang umum) disebabkan kemuliaan dan keutamaannya. Semua binatang tersebut tidak boleh diganggu atau dirampas.

Selain itu juga: wa lâ âmmîn al-Bayt al-Harâm yabtaghûna fadhl[an] min Rabbihim wa ridhwân[an] (dan jangan [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya). Kata âmmîn dalam frasa ini bermakna qâshdîn.9 Artinya, orang-orang yang bermaksud mengunjungi Baitullah.

Dijelaskan oleh sebagian besar mufassir, mereka yang dimaksud adalah kaum musyrik yang mengunjungi Baitul Haram.10 Jika demikian, apa maksud fadhl[an] min Rabbihim wa ridhwân[an] yang mereka cari itu? Kata fadhl[an] di sini berarti keuntungan material yang diperoleh dalam perdagangan yang mubah.11 Bahkan menurut Ibnu ‘Athiyah, ini adalah pendapat jumhur para ahli tafsir.12 Kebolehan mencari karunia Allah Swt. pada saat menunaikan haji juga disebutkan dalam QS al-Baqarah [2]: 198. Adapun ridhwân keridhaan di sini bisa dimaknai pahala. Patut dicatat, keinginan terhadap sesuatu tidak menunjukkan teraihnya sesuatu itu.13 Oleh karena itu, meskipun orang musyrik menginginkannya, mereka tidak akan mendapatkannya. Lebih dari itu, semua amal mereka terhapus, dicampakkan ke dalam neraka, dan surga diharamkan bagi mereka. Kendati begitu, kaum Muslim dilarang mengganggu mereka ketika hendak melaksanakan haji selama masih mencari dua perkara itu. Namun jika mereka telah melakukan kejahatan, harus dicegah (lihat QS al-Hajj [22]: 25). Karena itu, ketika ayat itu turun, orang-orang musyrik masih dibiarkan melaksanakan haji. Sebagaimana dituturkan ar-Razi, menurut jumhur mufassirîn seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, al-Hasan dan Qatadah, ketentuan tersebut kemudian dihapus (naskh) oleh QS at-Taubah [9]: 28).14

Kemudian Allah Swt berfirman: wa idzâ halaltum fa[i]shthâdû (Jika kalian telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah berburu). Perintah berburu sesudah dilaksanakannya ihram itu berhukum mubah.15 Kesimpulan ini didasarkan fakta bahwa hukum asal berburu adalah mubah. Aktivitas tersebut berubah menjadi haram bagi orang yang sedang menunaikan haji (lihat QS al-Maidah [5]: 1). Karena itu, setelah haji ditunaikan, kembali hukum asalnya, yakni mubah.

Allah Swt berfirman: wa lâ yajrimannakum syanân qawm an shaddûkum ‘an al-Masjid al-Harâm an ta’tadû (dan janganlah sekali-kali kebencian kalian kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Haram mendorong kalian berbuat aniaya [kepada mereka]). Kata asy-syanân bermakna syiddah al-bughd (kebencian yang sangat). Ditegaskan dalam ayat ini, kaum Mukmin dilarang berbuat aniaya terhadap kaum yang mereka benci karena telah menghalangi mereka ke Baitullah. Menurut as-Samarqandi, kata an ta’tadû di sini berarti melampaui batas dalam pembalasan.16

Perintah itu kemudian ditegaskan dengan firman-Nya: wa ta’âwanû ‘alâ al-birr wa at-taqwâ (Tolong-menolonglah kalian dalam [mengerjakan] kebajikan dan takwa). Dijelaskan al-Jazairi, al-birr adalah setiap ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan at-taqwâ adalah mengerjakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang.17

Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, kedua kata tersebut memiliki satu makna. Pengulangan dengan kata yang berbeda itu untuk mengukuhkan dan melebihkan (li at-ta’kîd wa al-mubâlaghah). Sebab, setiap birr adalah taqwâ, dan setiap taqwâ adalah birr. 18

Dalam perkara tersebut, umat Islam diperintahkan saling bantu satu sama lain.

Allah Swt. berfirman: wa lâ ta’âwanû ‘alâ al-itsm wa al-‘udwân (dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran). Dijelaskan al-Jazairi, al-itsm menunjuk semua dosa (sâir adz-dzunûb), sedangkan al-‘udwân berarti kezaliman dan melampaui batas.19 Abu Hayyan al-Andalusi memaknai al-itsm dengan al-ma’âshî (kemaksiatan-kemaksiatan) dan al-udwân berarti melampaui batas-batas Allah.20 Penyebutan dua kata itu secara bersamaan juga terdapat dalam QS al-Baqarah [2]: 85, al-Maidah [5]: 62, al-Mujadilah [58]: 8, dan 9. Terhadap perbuatan-perbuatan terlarang tersebut kaum Muslim dilarang bekerjasama dan tolong-menolong.

Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya: wa[i]ttaqûl-Lâh innal-Lâh syadîd al-‘iqâb (Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya). Perintah untuk bertakwa itu meliputi semua perkara, tidak sebatas perkara yang telah sebutkan. Ancaman siksaan yang pedih itu menunjukkan bahwa perintah tersebut wajib.


Istiqamah dalam Ketaatan

Terdapat banyak pelajaran yang dapat dipetik dalam ayat ini. Pertama: perintah menjalankan ketaatan terhadap semua hukum yang ditetapkan Allah Swt. Kata lâ tastahillû memberikan pengertian demikian. Intinya, kaum Muslim dilarang melanggar, mengubah dan mengganti semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan-Nya. Tidak ada pilihan bagi manusia kecuali tunduk dan patuh terhadapnya.

Dalam beberapa hukum memang ada perubahan dan penghapusan hukum (naskh). Namun, harus ditegaskan bahwa yang berhak melakukannya adalah Allah Swt., al-Musyarri’ al-wahdah (Pembuat syariah satu-satunya). Dialah yang berhak menghalalkan atau mengharamkan segala sesuatu. Adanya perubahan beberapa hukum itu sekaligus menguji sejauh mana ketaatan manusia terhadap hukum yang ditetapkan (perhatikan QS al-Maidah [5]: 48).

Kedua: ketaatan itu harus senantiasa dijaga kemurniannya karena Allah Swt. Dalam menjalankan ketaatan, tidak boleh bercampur dengan hawa nafsu. Semua sikap dan keputusan yang diambil harus bebas dari pengaruhnya. Larangan berbuat aniaya terhadap kaum yang dibenci jelas menunjukkan perintah tersebut.

Tindakan menghalangi manusia ke Baitullah jelas perbuatan tercela. Pelakunya pun layak dibenci karenanya. Namun demikian, kaum Muslim tidak boleh kehilangan kendali. Ketentuan syariah tetap harus dijadikan sebagai patokan. Kebencian terhadap mereka tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk berbuat aniaya terhadap mereka. Kalaupun harus memberikan balasan, balasan itu harus setimpal dengan perbuatannya (lihat: QS al-Nahl [16]: 126; QS al-Baqarah [2]: 190).

Ketiga: perintah saling bantu dalam mengerjakan ketaatan. Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. Karena itu, tolong-menolong dan kerjasama menjadi keniscayaan bagi manusia. Demikian pula dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Hampir semua kewajiban syariah memerlukan kerjasama dan tolong-menolong. Aktivitas jihad, dakwah, memberantas kemungkaran dan semacamnya mutlak diperlukan kerjasama dan tolong-menolong. Bahkan aktivitas ibadah yang tampaknya dikerjakan sendirian pun, seperti shalat, tetap membutuhkan kerjasama. Sebagai gambaran, untuk bisa mengerjakan shalat, jelas memerlukan pakaian untuk menutup aurat, tempat yang suci, air yang suci dan mensucikan, pengetahuan arah kiblat, ketepatan waktu, dan lain-lain. Semua itu akan jauh lebih mudah dilakukan jika ada at-ta’âwun (kerjasama) di antara kaum Muslim. Hal yang sama juga terjadi pada zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya. Karena ta’âwun dalam ketaatan termasuk aktivitas yang diperintahkan, maka semua pihak yang turut memiliki andil di dalamnya juga berhak mendapatkan pahala dari-Nya. Terus mengalirnya pahala dari sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang mendoakan orangtuanya—sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih—merupakan salah satu contohnya.

Harus diingat, kerjasama yang diperintahkan itu hanya berlaku pada kegiatan ketaatan saja. Sebaliknya, perbuatan dosa dan maksiat, dilarang untuk dikerjakan. Siapa pun yang terlibat dalam kerjasama tersebut, layak mendapatkan dosa.

Demikianlah. Siapa pun yang menginginkan kebahagian di dunia dan akhirat, wajib baginya mengerjakan ketaatan kepada Allah Swt., memelihara kemurnian ketaatan karena-Nya dan saling bantu dan dukung melakukan ketaatan.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:

1 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabî , vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 101.

2 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 449; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 434; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 413; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 253.

3 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabî , vol. 11, 101; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 434.

4 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 394; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 146.

5 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 146; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 7; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, ), 8

6 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2, 449; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 547. Lihat juga ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4, 394; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 413

7 As-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 102; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 1 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993), 490. Mujahid al-Sya’bi, adh-Dhahhak, Ibnu Zaid, pun berpendapat demikian, lihat ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 4, 398. al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 6 juga berpendapat sama.

8 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 102. Menurut Ibnu ‘Athiyan, tidak ada perbedaan mengenai pengertian al-hadyu tersebut. Lihat Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 146.

9 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 5; al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 102.

10 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 147; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 228.

11 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 5; 12 al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 102; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 413

13 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 147.

14 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 435.

15 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 103; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 6, 228, al-Khazin, Lubâb ar-Ta’wîl, vol. 2, 6. Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 146 mengatakan, semua ketentuan yang berkaitan dengan kafir telah di-naskh.

16 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 103; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 6, 229; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 5; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 148; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 305; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1, 253; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 2, 6.

17 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 414

18 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 587. Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Ibnu Abbas, lihat ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4, 406.

19 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 150.

20 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1, 587

21 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 434.

di ambil dari http://hizbut-tahrir.or.id/2009/06/07/memelihara-ketaatan/

Baca Selengkapnya.... »»

Haram Memilih Pemimpin Sekular

Pemilu Legislatif (Pileg) telah usai digelar. Partai-partai politik kini sibuk mempersiapkan diri menghadapi Pemilu Presiden (Pilpres) yang akan digelar beberapa bulan lagi. Berbagai macam manuver dan lobi politik untuk mendapatkan jatah kekuasaan semakin intens dilakukan. Koalisi antarpartai pun menjadi pilihan wajib, mengingat tidak ada satu pun partai yang mampu meraih suara di atas 50%.
Tidak ketinggalan pula partai-partai Islam. Koalisi dengan partai yang berbeda platform dan ideologi menjadi pilihan yang tidak mungkin dihindari jika partai Islam memilih untuk turut berpartisipasi pada pemerintahan baru mendatang. Sebaliknya, jika memilih sebagai partai oposan, partai Islam akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan jatah kekuasaan. Akibatnya, misi yang mereka dengang-dengungkan selama ini, yaitu “mencegah dikuasainya pemerintahan oleh partai sekular dan mewarnai pemerintahan dengan warna Islam” jauh panggang dari api. Untuk itu, tidak ada jalan lain bagi mereka, selain merapat pada partai sekular yang mendapat suara signifikan.

Hanya saja, dengan perolehan suara yang boleh dikatakan mengecewakan, “partai-partai Islam” tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan partai-partai nasionalis-sekular. Mereka tidak bisa lagi menentukan arah dan bentuk koalisi, namun harus tunduk di bawah kemauan partai sekular. Keadaan semacam ini tentu telah menjerumuskan mereka ke dalam koalisi pragmatis yang kosong dari ideologi. Akidah dan syariah yang harusnya dijadikan landasan dan tolok ukur perbuatan telah mereka tinggalkan demi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Sedihnya lagi, mereka tak segan-segan menakwilkan nash-nash syariah untuk membenarkan tindakan mereka yang jelas-jelas haram.

Realitas di atas setidaknya mendorong umat Islam bertanya, haruskah partai-partai Islam melibatkan diri di dalam Pilpres? Bagaimana pandangan syariah Islam mengenai Pilpres dan koalisi partai Islam dengan partai sekular? Tulisan ini akan mengurai persoalan ini secara lebih rinci dan mendalam.


Alasan dan Kritik

Ada sejumlah alasan penting yang mendorong partai-partai Islam berkoalisi dengan partai sekular. Pertama: alasan yang bersifat pemikiran. Sebagian partai Islam menyakini bahwa koalisi dengan partai sekular dan musyârakah (berkoalisi) dalam pemerintah kufur bukanlah tindakan yang melanggar syariah. Mereka berdalih dengan Perjanjian Hudaibiyah, kaidah ahwanusy-syarrayn dan mashâlihul-mursalah serta argumentasi-argumentasi lain yang sejatinya tidak berhubungan sama sekali dengan persoalan koalisi dan musyârakah.

Perjanjian Hudaibiyah, misalnya, konteksnya adalah perjanjian antarnegara dan sama sekali tidak berkaitan dengan kerjasama partai Islam dengan partai sekular maupun pemerintahan kufur. Kaidah ahwanusy-syarrayn (memilih bahaya yang lebih kecil) juga mereka gunakan tidak pada konteks sebenarnya. Pasalnya, masih ada jalan halal untuk melakukan perubahan di negeri ini. Pemilu, parlemen dan musyârakah dalam pemerintahan kufur bukanlah satu-satunya pilihan bagi partai-partai Islam, lalu dengan semena-mena mereka bisa menggunakan kaidah ahwanusy-syarrayn atau akhdz akhaff adh-dharrayn untuk membenarkan koalisi dengan partai sekular dan musyârakah dengan pemerintahan kufur.

Kedua: alasan yang bersifat politis-pragmatis. Koalisi antarpartai juga dilatar-belakangi oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat pragmatis. Biasanya, koalisi ditujukan untuk bekerjasama dalam hal meraih kekuasaan, membentuk pemerintahan baru yang solid, kuat dan legitimated; serta alasan-alasan politis lain yang bersifat pragmatis. Jika koalisi sudah dijalin, partai-partai peserta koalisi berkomitmen untuk terikat dengan butir-butir kesepakatan koalisi, dan berusaha merealisasikan kerjasama tersebut dalam bentuk yang lebih nyata. Adakalanya koalisi antarpartai bersifat permanen dan menyeluruh. Artinya, partai-partai tersebut bekerjasama tidak hanya dalam pemerintahan saja, namun juga di parlemen, dan cakupan koalisinya hampir di segala bidang kehidupan, hingga berakhirnya masa pemerintahan.

Dalam pandangan syariah Islam, kerjasama dan partisipasi harus selalu didasarkan pada akidah dan syariah Islam serta dilakukan untuk tujuan-tujuan yang sejalan dengan akidah dan syariah Islam. Pasalnya, al-Quran telah menggariskan bahwa kerjasama dan partisipasi harus dalam kebaikan dan takwa. Tidak ada kerjasama dan partisipasi dalam perkara-perkara yang bertentangan dengan akidah dan syariah. Oleh karena itu, kerjasama partai Islam dengan partai sekular untuk menegakkan pemerintahan kufur, mengangkat kepala negara yang akan menerapkan hukum-hukum kufur dan berpartisipasi dalam pemerintahan sekular jelas-jelas merupakan partisipasi yang dilarang Islam.

Ada alasan, bahwa koalisi dengan partai sekular merupakan strategi untuk mewarnai pemerintahan mendatang dengan warna Islam. Sesungguhnya alasan seperti ini hanyalah alasan bohong yang tidak sejalan dengan fakta sesungguhnya. Pasalnya, dengan suara yang boleh dikatakan kecil, posisi tawar partai Islam di hadapan partai-partai sekular sangatlah rendah. Jika mereka tetap ingin mendapatkan jatah kekuasaan, partai-partai Islam tersebut harus tunduk dan patuh dengan arahan dan bentuk koalisi yang ditentukan oleh partai-partai besar. Apalagi sejak awal partai-partai Islam dengan tegas telah menyatakan bahwa koalisi dengan partai sekular tidak lagi mempersoalkan platform dan ideologi partai. Artinya, koalisi yang mereka bangun tidak lagi didasarkan pada ideologi Islam (akidah Islam), tetapi kepentingan pragmatis. Padahal bukankah perbuatan yang tidak didasarkan pada akidah dan syariah Islam pasti ditolak oleh Allah Swt.? Apakah partai-partai Islam itu telah melupakan urusan-urusan akhiratnya, sehingga dalam beramal tidak lagi didasarkan pada akidah Islam, tetapi kepentingan pragmatis? Lantas bagaimana mereka bisa menyatakan, bahwa koalisi dengan partai sekular merupakan strategi ampuh untuk mewarnai pemerintahan dengan Islam, sedangkan sejak dini mereka telah mencampakkan ideologi dan syariah Islam demi mendapatkan jatah kekuasaan? Sesungguhnya partai Islam bukanlah pihak yang mewarnai. Mereka adalah pihak yang terwarnai.

Ada pula alasan, koalisi ditujukan untuk mengawal presiden yang terpilih nanti agar selalu sejalan dengan syariah Islam. Sesungguhnya alasan ini juga klise dan menyesatkan. Kenyataan menunjukkan bahwa presiden dan wakil presiden yang didukung oleh partai Islam lebih loyal pada konstitusi dan perundang-undangan kufur daripada pada Islam. Keberpihakan mereka pada kepentingan Islam dan kaum Muslim boleh dikatakan “hampir tidak ada”. Padahal partai-partai Islam ada di sekeliling para penguasa tersebut. Mandegnya UU Pornografi, kasus Ahmadiyyah dan lahirnya undang-undang pro kepentingan korporasi asing merupakan contoh nyata tidak adanya keberpihakan mereka terhadap urusan Islam dan kaum Muslim. Lalu di mana peran partai Islam dalam mempengaruhi kepala negara dan parlemen di negeri ini agar selalu sejalan dengan syariah Islam?

Partai-partai Islam barangkali lupa, bahwa persoalan yang mereka hadapi bukan sekadar moralitas penyelenggara negara yang rusak, tetapi juga rusaknya ideologi dan sistem sekular. Penerapan ideologi dan aturan sekular telah memaksa partai Islam untuk menghilangkan semua identitas dan simbol yang berbau agama. Dalam keadaan semacam ini, partai Islam tidak mungkin lagi melakukan perubahan dengan ideologi dan warna Islam. Pasalnya, sejak awal partai Islam dicegah membawa simbol dan identitas agama dalam urusan pemerintahan dan parlemen. Ironisnya, partai-partai Islam justru rela mencampakkan ideologi dan warna Islam demi bisa berpartisipasi dalam pemerintahan dan parlemen. Akibatnya, umat Islam tidak bisa membedakan lagi, mana yang islami dan mana yang tidak, mana partai Islam dan mana partai sekular.

Ketiga: terkooptasi secara pemikiran. Faktor lain yang melatarbelakangi koalisi partai Islam dengan partai sekular adalah adanya pandangan yang keliru pada partai-partai Islam akibat terkooptasi oleh pemikiran politik sekular. Dalam pandangan mereka, politik diidentikkan dengan how to get power dan to distribute power (bagaimana cara memperoleh dan mendistribusikan sebuah kekuasaan). Pandangan semacam ini telah mendikotomikan partai politik dalam dua klasifikasi besar: (1) partai pemerintah; (2) partai oposisi. Partai pemerintah adalah partai yang berhasil meraih kekuasaan, atau mendapatkan jatah kekuasaan, dan terlibat secara aktif dalam pemerintahan. Sebaliknya, partai oposisi adalah partai yang menempatkan diri sebagai oposisi, dan tidak melibatkan diri dalam pemerintahan (eksekutif). Jika partai politik ingin memiliki peran dalam pemerintahan, ia harus menjadi partai pemerintah. Sebaliknya, jika ia memilih untuk menjadi partai oposisi berarti ia dianggap tidak berperan serta dalam pemerintahan.

Pandangan semacam ini juga menjangkiti partai-partai Islam. Jika partai Islam ingin memberikan pengaruh-pengaruh politiknya di pemerintahan maka ia harus melibatkan diri dalam pemerintahan, tanpa mempertimbangkan lagi halal dan haram. Sebaliknya, jika mereka memilih menjadi partai oposisi, mereka tidak mungkin bisa berperan dan berpartisipasi aktif dalam pemerintahan. Padahal strategi dakwah mereka adalah melakukan perubahan melalui pemerintahan, di samping melalui parlemen. Oleh karena itu, satu-satunya pilihan bagi mereka adalah berkoalisi dengan partai sekular dan ber-musyârakah dengan pemerintahan kufur. Mereka tidak memperdulikan lagi bahwa partai sekular dan pemerintahan yang mereka dukung sesungguhnya adalah musuh sejati mereka.


Wajib Memisahkan Diri

Selama ini ada anggapan bahwa tindakan tidak melibatkan diri dalam pemerintahan adalah bentuk ketidakpedulian dengan nasib bangsa, kontraproduktif, dan pilihan yang tidak bertanggung jawab. Pernyataan ini benar jika penyelenggara urusan pemerintahan dan negara menerapkan dan menjalankan hukum-hukum Islam, dan menjadikan akidah Islam sebagai asas bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya, jika para penyelenggara negara menjalankan aturan-aturan kufur, dan mencampakkan akidah Islam sebagai asas bermasyarakat dan bernegara, maka seorang Muslim justru harus memisahkan diri dari mereka, dan terus berjuang untuk mengubah keadaan tersebut. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لاَ مَا صَلَّوْا

“Akan datang para penguasa. Lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya. Siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa). Siapa saja yang mengingkarinya akan selamat. Siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka).” Para shahabat bertanya, “Tidakkah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.” (HR Muslim).

Tatkala berkomentar terhadap hadis ini, Imam Nawawi, dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan:

Dalam hadis ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi pada masa depan. Hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw…Adapun makna dari frasa, “Tidakkah kita perangi mereka?” Lalu beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekadar melakukan kezaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satu pun sendi-sendi dasar Islam.1

Berdasarkan sabda Nabi saw. di atas, melibatkan diri di dalam pemerintahan yang telah melepas sendi-sendi Islam jelas-jelas merupakan perbuatan haram. Kewajiban kaum Muslim sekarang adalah berjuang dengan cara lain—bukan dengan musyârakah—untuk menegakkan kembali supremasi Islam dan kaum Muslim.


Larangan Memilih Pemimpin Sekular

Pada dasarnya, seorang Muslim, baik penguasa maupun rakyat, dilarang menerapkan hukum-hukum selain hukum Allah. Keharaman menerapkan hukum selain hukum Allah telah ditetapkan berdasarkan nash-nash yang tegas. Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah orang-orang yang kafir (QS al-Maidah [5]: 44).

Masih banyak ayat-ayat lain yang memiliki pengertian senada.

Adapun berkaitan dengan seorang penguasa, Allah Swt. telah mewajibkan Nabi saw.—dalam kapasitasnya sebagai kepala negara—untuk memerintah manusia hanya dengan hukum Allah semata (Lihat: QS al-Maidah [5]: 48). Allah Swt. juga berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka berdasarkan hukum Allah, janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian hukum yang telah Allah turunkan kepadamu (QS al-Maidah [5]: 49).

Tatkala Rasulullah saw. pernah mengutus Muadz ra. ke Yaman, beliau bertanya kepadanya, “Dengan apa kamu akan memutuskan perkara?” Jawab Muadz, “Dengan Kitabullah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukannya?” Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasulullah saw. kembali bertanya, “Jika kamu tidak menemukannya?” Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya.”

Mendengar jawaban yang sangat cerdas ini, Rasulullah saw. langsung memuji Allah, “Segala pujian milik Allah Yang telah memberi taufik kepada utusan Rasul-Nya pada sesuatu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.”

Nash-nash di atas menunjukkan bahwa seorang kepala negara wajib mengatur urusan rakyat hanya dengan aturan Islam semata. Ia dilarang mengatur urusan rakyat dengan hukum-hukum kufur.

Dari sini pula dapat dipahami, bahwa seorang Muslim dilarang memilih pemimpin yang hendak menerapkan hukum kufur. Alasannya, memilih pemimpin yang akan menerapkan hukum kufur sama artinya dengan membuka jalan bagi penerapan hukum-hukum kufur itu sendiri. Untuk itu, dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang, seorang Muslim dilarang melibatkan diri dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang jelas-jelas membuka jalan bagi diterapkannya hukum sekular yang kufur. Seorang Muslim hanya diperkenankan memilih kepala negara yang memiliki komitmen kuat untuk menerapkan syariah Islam, baik di ranah pribadi, masyarakat maupun negara. Hal ini baru bisa terwujud jika kaum Muslim hidup dalam kepemimpinan seorang khalifah dan berada di dalam sistem Khilafah Islamiyah yang menjadikan akidah dan syariah Islam sebagai sendi bermasyarakat dan bernegara. Wallâhu a’lam. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

Catatan kaki:

1 Imam Nawawiy, Syarh Shahîh Muslim, XII/243-244.
di sadur dari http://hizbut-tahrir.or.id/2009/06/07/haram-memilih-pemimpin-sekular/

Baca Selengkapnya.... »»

Mau dapat duit tanpa modal klik disini

uang gratis

Followers

 

Copyright © 2009 by Fadly Al Ansyari