SELAMAT DATANG DI SITUS FADLY AL ANSYARI'S, SILAKAN BACA MOGA BERMANFA'AT, MOHON DI BERI KRITIK DAN SARAN UNTUK KEMAJUAN BLOG INI

7.30.2009

Sekulerisme Mematikan Agama

Melihat pandangan para calon wakil presiden dalam hubungan antara agama dan politik, tampak jelas pandangan sekulerisme masih dominan. Semuanya sepakat agama tidak boleh masuk dalam ruang politik praktis. Yang berbeda adalah cara penyajiannya. Boediono berpendapat agama tidak boleh menjadi unsur dalam politik praktis. ”Agama itu mulia dan tidak boleh dijadikan elemen praktis, harus di atas politik praktis. Negara dalam hal ini bertanggung jawab untuk memberikan peluang melindungi warga negaranya. Negara harus mengambil posisi menjaga keharmonisan,” kata Boediono.

Sementara Wiranto menilai, substansi agama malah harus dijadikan spirit untuk membangun kehidupan politik. ”Nilai substantif agama, menurut saya bisa diambil untuk membangun etika politik. Jangan sampai di politik hanya BTN, bohong, tega, dan nipu. Nilai-nilai agama harus ada di dalamnya,” jelas Wiranto.Pernyataan di atas sepertinya memuliakan agama, tapi kalau kita telaah lebih mendalam pernyataan itu justru memperlemah peran agama bahkan mematikannya.

Sekulerisme sindiri bukan berarti tidak mengakui agama. Namun agama hanya ditempatkan sebagai moralitas, hal-hal individual, atau ibadah ritual. Kalaupun agama masuk dalam aspek ekonomi dan politik, agama hanya sekadar substansi seperti jujur, santun, adil. Dalam pandangan sekuler agama tidak boleh dijadikan dasar negara apalagi menjadi sumber hukum dalam masalah kebijakan atau pengaturan urusan masyarakat secara praktis.

Sekulerisme Mematikan Agama PDF Print E-mail
Thursday, 30 July 2009

Melihat pandangan para calon wakil presiden dalam hubungan antara agama dan politik, tampak jelas pandangan sekulerisme masih dominan. Semuanya sepakat agama tidak boleh masuk dalam ruang politik praktis. Yang berbeda adalah cara penyajiannya. Boediono berpendapat agama tidak boleh menjadi unsur dalam politik praktis. ”Agama itu mulia dan tidak boleh dijadikan elemen praktis, harus di atas politik praktis. Negara dalam hal ini bertanggung jawab untuk memberikan peluang melindungi warga negaranya. Negara harus mengambil posisi menjaga keharmonisan,” kata Boediono.

Sementara Wiranto menilai, substansi agama malah harus dijadikan spirit untuk membangun kehidupan politik. ”Nilai substantif agama, menurut saya bisa diambil untuk membangun etika politik. Jangan sampai di politik hanya BTN, bohong, tega, dan nipu. Nilai-nilai agama harus ada di dalamnya,” jelas Wiranto.Pernyataan di atas sepertinya memuliakan agama, tapi kalau kita telaah lebih mendalam pernyataan itu justru memperlemah peran agama bahkan mematikannya.

Sekulerisme sindiri bukan berarti tidak mengakui agama. Namun agama hanya ditempatkan sebagai moralitas, hal-hal individual, atau ibadah ritual. Kalaupun agama masuk dalam aspek ekonomi dan politik, agama hanya sekadar substansi seperti jujur, santun, adil. Dalam pandangan sekuler agama tidak boleh dijadikan dasar negara apalagi menjadi sumber hukum dalam masalah kebijakan atau pengaturan urusan masyarakat secara praktis.

Pandangan seperti ini jelas bertentangan dengan Islam. Syariat Islam bukanlah sekadar moralitas tapi juga mengatur manusia dalam bentuk hukum dan kebijakan yang sifatnya praktis. Dalam hukum waris misalnya, syariat Islam tidak hanya bicara substansi atau filosofi pembagian yang harus adil. Tapi memberikan tuntunan praktis bagaimana keadilan itu bisa terwujud. Bahkan sampai dalam hitungan matematis seperti 2 : 1 .

Syariat Islam bukan sekadar menyatakan keadilan penting dalam ekonomi, tapi secara praktis menjelaskan bentuk-bentuk praktis keadilan. Islam mengharamkan penimbunan barang atau emas dan perak yang berakibat terganggunya stabilitas harga dan pasar. Mengharamkan riba yang menjadi faktor instabilitas ekonomi. Tidak hanya itu, syariat Islam memberikan sanksi yang tegas bagi yang mempraktikkan hal-hal curang seperti itu.

Berdasarkan syariat Islam, negara wajib menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat , pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Syariat Islam juga mengharamkan pemilikan umum (al milkiyah 'amah) seperti barang tambang yang jumlahnya melimpah (emas, perak, batu bara, minyak) diserahkan pemilikannya kepada individu/swasta apalagi pihak asing. Pemilikan umum adalah milik rakyat yang harus dikelola dengan baik oleh negara untuk kemashlahatan rakyat.

Islam bukan hanya bicara nilai-nilai substansial seperti politik harus adil dan para pemimpin harus amanah. Tapi juga secara praktis mewajibkan bentuk negara yang harus diterapkan yakni Khilafah, syarat-syarat Khalifah, metode pengangkatannya, metode kontrol terhadap Khalifah, sampai bagaimana Khalifah bisa diturunkan kalau menyimpang.

Pandangan sekuler seperti ketiga cawapres di ataslah yang menyebabkan syariat Islam tidak bisa diterapkan. Peran agama yang seharusnya bisa menyelesaikan persoalan masyarakat secara praktis menjadi mandul. Agama kemudian menjadi sekadar penonton atau penghibur penderitaan rakyat. Agama gagal menjadi kekuatan yang menyelesaikan persoalan manusia.

Yang ironis, lewat paradigma sekuler tersebut agama kemudian dipolitisasi untuk memperkokoh sistem yang sekuler. Ketika muncul semangat perlawanan dari rakyat untuk mengoreksi penguasa yang menyimpang misalnya, muncul orang-orang yang bertopeng agama yang menyatakan kita harus taat kepada pemimpin dan tidak boleh ghibah (menjelek-jelekkan) pemimpin.

Padahal ajaran Islam sangat tegas mewajibkan mengkoreksi penguasa yang dzolim, sampai-sampai Rosulullah saw menyatakan sebagai jihad yang paling utama : Rasulullah SAW bersabda afdhalul jihad kalimatu haqqin 'inda sulthanin ja'irin (Sebaik-baik jihad adalah melontarkan kata yang hak di depan pemimpin yang jahat/zalim). Ketaatan kepada pemimpin dituntut kalau pemimpinnya Muslim yang menjalankan syariah Islam. La tha'ata li makhlukin fi ma'siatil khaliqi (Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah SWT), demikian tegas Rasulullah SAW.

Adapun kritik bukanlah menjelek-jelekkan penguasa tanpa bukti, tapi menyampaikan perkara jelek yang memang dijalankan oleh penguasa yang membahayakan masyarakat. Imam an Nawawi dalam kitab Riyadhus shalihin menjelaskan hal seperti itu dibolehkan. Mengoreksi penguasa di depan umum juga dipraktikkan oleh di masa sahabat. Umar ra saat menjadi Khalifah pernah dikoreksi secara langsung oleh seorang wanita dalam perkara membatasi jumlah mahar.

Orang-orang yang bertopeng agama ini menyerukan sabar dan sabar ketika ada penguasa yang kebijakannya menyengsarakan masyarakat. Seperti saat BBM dinaikkan, untuk meredam kemarahan masyarakat digunakan ajaran agama yakni sabar secara menyimpang. Memang kita diperintahkan bersabar kalau kita menghadapi cobaan atau penderitaan. Namun bukan berarti kita berdiam diri.

Sebab ada perintah lain yang kewajiban muhasabatul hukkam (mengoreksi penguasa). Dan saat mengoreksi penguasa juga kita harus sabar dari tekanan dan penindasannya. Sabar yang benar menurut para ulama adalah sabar saat menjalankan perintah Allah SWT dan saat menjauhi larangannya. Walhasil, ketika agama dimandulkan dan syariat Islam tidak dilaksanakan yang mengatur masyarakat adalah sistem kapitalisme sekuler yang justru terbukti membawa penderitaan rakyat.[] farid wadjdi.
disadur dari : Media Umat.com

Comments :

0 komentar to “Sekulerisme Mematikan Agama”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by Fadly Al Ansyari