SELAMAT DATANG DI SITUS FADLY AL ANSYARI'S, SILAKAN BACA MOGA BERMANFA'AT, MOHON DI BERI KRITIK DAN SARAN UNTUK KEMAJUAN BLOG INI

7.30.2009

Yvonne Ridley (Mualaf Asal Inggris): Menjemput Hidayah dari Medan Perang


Apa yang diperjuangkan kaum feminisme Barat ternyata telah dinikmati Muslimah sejak 1400 tahun lalu.

Serangan 1 September 2001 yang menghancurkan gedung kembar WTC dan Pentagon di Amerika itu berdampak luar biasa besar pada dunia, termasuk kepadaku. Aku lahir di County Durham, Inggris 1959. Peristiwa delapan tahun lalu itu menjadi titik awal perubahan keyakinan, pandangan dan perjuanganku.
Ditangkap Taliban

Sebagai seorang wartawati, pasca kejadian 9/11, aku langsung diutus media tempatku bekerja untuk melakukan investigasi ke wilayah yang dituding Amerika sebagai sarang teroris tempat bersembunyinya Osama bin Laden itu. Aku diselundupkan dari Pakistan ke perbatasan Afghanistan. Menyamar sebagai Muslimah Pastun dan didampingi dua orang guide asal Afghanistan.

Tanpa identitas, aku menelusuri jalur tidak resmi untuk masuk ke salah satu kota Afghanistan. Namun sayang penyamaranku terungkap ketika aku terjatuh dari seekor keledai di dekat Jalalabad persis di depan seorang tentara Taliban pada 28 September 2001. Kemudian akupun ditawan.

Selama dikurung, akupun terus mencaci maki dan meludahi mereka. Karena seperti pada umumnya orang Barat memandang Islam, saat itu, akupun sangat membenci dan memusuhi Islam apalagi terhadap Taliban. Setiap hari aku dihantui prasangka buruk dan mengira akan mati. Aku terus menunggu kapan saatnya orang jahat yang membawa alat penyetrum muncul. Bayangan itu sangat menakutkan. Mungkin karena aku termakan propaganda bahwa Taliban adalah rezim paling kejam di dunia.

Selama ditahan, pihak Taliban selalu mencoba untuk menjatuhkan mentalku dengan mengajukan pertanyaan yang sama setiap hari, kadang-kadang sampai lewat pukul sembilan malam. Perasaan mencekam terus menghantuiku, apalagi setelah mendengar informasi tentang kepastian penyerangan Amerika ke Afghanistan, aku tidak yakin bahwa aku akan dibebaskan.

Di malam pertama serangan itu, sekelompok orang masuk ke tahananku kemudian mengambil sesuatu dari ranjangku. Ternyata dengan acuhnya mereka hanya mengambil senjata pelontar granat. Aku bertaruh bahwa orang-orang berpikir aku disiksa, dipukuli, dan mengalami pelecehan seksual. Padahal selama ditawan, aku diperlakukan dengan baik dan penuh hormat.

Tahananku dipisahkan dari para tahanan lain. Sebelumnya, sel dibersihkan dulu dari segala gangguan kecoa dan kalajengking. Sejak hari pertama penangkapan, mereka terus saja menanyaiku mengapa masuk ke Afghanistan tidak melalui jalur resmi. Mereka tidak percaya bahwa aku wartawan yang sedang melakukan liputan eksklusif. Akhirnya, akupun berseloroh, kedatanganku ke sana adalah untuk bergabung dengan Taliban. Mereka tertawa, mengerti kalau aku hanya bercanda.

Kejadian lainnya yang berkesan bahkan menggelikan adalah ketika mereka memintaku menurunkan celana dalam yang kujemur. Jelas saja kutolak karena masih basah. Tidak kusangka sampai-sampai wakil menteri luar negeri Taliban terpaksa turun tangan sendiri dan memintaku untuk menurunkannya karena kuatir terlihat oleh para tentara.

Akupun tercengang. Afghanistan sedang dibom oleh Amerika dan yang mereka pikirkan adalah celana dalamku. Dalam benak, aku berkelakar, kalau mau mengusir Taliban tak perlu pakai bom segala, tinggal mengirimkan satu resimen perempuan dengan melambai-lambaikan celana dalamnya. Taliban pasti akan terbirit-birit.

Berdasarkan apa yang kualami ini, aku mulai menyadari bahwa orang-orang Taliban tak seseram yang diberitakan oleh media-media Barat. Di hari kesepuluh aku didatangi oleh seorang Mullah. Ia pun menanyakan apa agamaku dan bagaimana pendapatku tentang Islam. Dengan tegas kukatakan bahwa aku adalah penganut Kristen Protestan dan Islam menurutku adalah agama yang memesona dan aku mengagumi para pemeluk agama Islam yang memiliki gairah yang luar biasa terhadap keyakinan mereka.

Aku berjanji kepada mereka bahwa aku akan membaca Alquran dan mempelajari Islam bila mereka membiarkanku pergi. Aneh tapi nyata, mereka pun percaya padaku sehingga menerima tawaranku dan beberapa jam kemudian aku pun dibebaskan. Setelah kembali ke London, janji kupenuhi. Barangkali saja dengan membaca kitab keyakinan mereka dapat membuatku memahami pengalaman yang baru kulewati itu.

Mempelajari Islam

Akupun membaca terjemah Alquran dan beberapa buku Islam disamping berdiskusi dengan Ketua Islamic Centre London Zaki Badawai. Namun aku benar-benar terhenyak ketika kutemukan secara gamblang bahwa wanita memiliki kesamaan spiritual, pendidikan dan harga diri. Pantas saja mereka berlaku baik padaku.

Muslimah bangga untuk menyatakan bahwa mereka adalah ibu rumah tangga karena panutan mereka, Nabi Muhammad SAW, menyatakan bahwa wanita yang terpenting dalam keluarga adalah seorang ibu, ibu, dan ibu. Nabi SAW juga berkata bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu.

Ketika seorang wanita secara Islam memilih dengan sadar untuk tetap tinggal di rumah dan membesarkan anak-anak merupakan suatu bentuk baru dari harga diri dan kehormatan yang luar biasa nilainya dimataku. Karena ibu menjadi pendidik pertama dan utama.

Di sisi lain, media massa dengan heboh meliput berita artis yang melakukan perjanjian pranikah. Padahal dalam Islam Muslimah boleh memilih untuk bekerja atau tidak, dan semua penghasilan yang ia dapati dari pekerjaannya adalah miliknya. Sedangkan suaminya harus membayar semua kebutuhan, tagihan dan belanja keluarga. Ternyata, apa-apa yang kaum feminis Barat perjuangkan sejak tahun 70-an itu, sudah dinikmati oleh para Muslimah sejak 1400 tahun yang lalu.

Berbagai majalah memberikan pesan kepada wanita kalau mereka tidak tinggi, langsing dan cantik maka mereka tidak akan dicintai dan diinginkan. Tetapi Islam berkata kepadaku bahwa aku memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan wajib mencari ilmu. Kerudung dan nikab sebagai simbol politik dan persyaratan agama sekaligus. Ada pula yang menganggap bahwa ini adalah simbol perlawanan mereka terhadap gaya hidup Barat yang sarat dengan mabuk-mabukan, seks bebas, dan narkoba.

Superioritas dalam Islam tumbuh karena ketakwaan, bukan kecantikan, kekayaan, kekuasaan, posisi, maupun jenis kelamin. Akupun menyadari ternyata Muslimah adalah sosok yang memiliki banyak keahlian, berbakat, dan berpendirian kuat sebagai bentuk solidaritas persaudaraan yang bahkan terlalu agung untuk dibandingkan dengan persaudaraan feminisme Barat.

Jujur, sebelumnya, aku sama sekali tidak tahu siapa Nabi Muhammad SAW. dan risalah yang dibawanya itu. Namun, sekarang aku bersedia mengorbankan apapun bahkan hingga tetes darah terakhirku untuk membela nama, kehormatan dan kenangan tentangnya. Sehingga pada tahun 2003 akupun mengucapkan dua kalimat syahadat.[]www.mediaumat.com

Comments :

0 komentar to “Yvonne Ridley (Mualaf Asal Inggris): Menjemput Hidayah dari Medan Perang”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by Fadly Al Ansyari